Rabu, 30 Juni 2010

Bagaimana Theolog Reformed Bertheologi pada Masa Kini

Bagaimana Theolog Reformed Bertheologi pada Masa Kini (I)
Editorial:

Artikel ini diambil dari Majalah Momentum; Edisi: 31 Triwulan III/1996, hal. 44-50, yang diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia
Penulis:
-
Edisi:
004/I/2000
Isi:

Kata "Reformed" dan "Reformasi" sebenarnya satu rumpun. Gerakan Reformasi abad 16 menolak atau memodifikasikan beberapa doktrin dan praktek Katolik Roma. Tokoh-tokoh Reformasi mengakui Alkitab sebagai satu-satunya otoritas. Karena itu, dengan kembali kepada keyakinan gereja mula-mula mereka mendirikan gereja Protestan, membuat pengakuan iman baru, dan mengembangkan theologi baru. Dalam kamus Webster, kata "reformed" berarti "berubah menjadi lebih baik."
Kata "Reformed" pada mulanya adalah sinonim untuk "Protestan", yang meliputi Lutheran, Zwinglian dan Calvinian. Secara bertahap istilah tersebut akhirnya hanya dipakai untuk gereja Calvinis di benua Eropa, sedangkan di Inggris gereja Calvinis disebut Presbyterian.

Sebagai nama gereja, istilah Reformed dan Presbyterian sering dipakai bergantian. Contohnya adalah nama 3 organisasi oikumene yang mencakup kedua gereja tersebut, yaitu "World Alliance of Reformed Churches (WARC) yang merupakan organisasi internasional tertua, "Reformed Ecumenical Council" (REC) yang secara organisasi lebih kecil, dan "National Association of Presbyterian and Reformed Churches" (NapaRC) yang berada di Amerika Serikat. Secara gamblang, "Reformed" merujuk kepada tipe doktrin, pengakuan iman atau aliran theologi, sedangkan "Presbyterian" merupakan bentuk pemerintahan gereja. Hal ini terlihat dalam nama lengkap WARC waktu dibentuk, yaitu "Alliance of the Reformed Churches throughout the world holding the Presbyterian system" (Perserikatan Gereja-gereja Reformed di seluruh dunia yang berpegang pada sistem Presbyterian). Bab ini bertujuan menggambarkan bagaimana theolog Reformed dalam tradisi Reformed dan Presbyterian bertheologi.

Biasanya theolog tidak menjelaskan bagaimana cara mereka bertheologi; pokoknya mereka bertheologi. Apa dan bagaimana cara melakukan sesuatu pekerjaan sering sulit dijelaskan, terutama jika pekerjaan itu sesuatu yang sangat lumrah. Saya sering merasa senang dengan pertanyaan yang diajukan anak tetangga saya jika saya sedang memotong rumput, mencuci mobil atau mencat rumah. "Apa yang sedang anda kerjakan, Pak Klooster?" Biasanya saya memberi jawaban yang konyol sehingga ia berkata "Tidak, bukan itu yang sedang anda kerjakan." Cara demikian tentu tidak tepat di sini. Saya harus berusaha menjawab pertanyaan yang biasanya diabaikan atau tidak diperhatikan theolog Reformed. Saya terpaksa berusaha menggambarkan apa yang saya pikir mereka kerjakan. Akibatnya saya harus menggambarkan bagaimana saya, sebagai seorang theolog Reformed, bertheologi dan bagaimana seharusnya bertheologi. Walaupun tidak semua theolog Reformed akan setuju, saya berharap gambaran saya ini valid secara umum.

Theologi Reformed merupakan satu spesies dalam genus theologi, maka theologi Reformed tentu memiliki karakteristik dasar yang sama dengan tipe theologi lainnya. Saya akan memfokuskan pada yang biasa disebut theologi sistematik atau theologi dogmatik atau theologi saja. Tetapi pembahasan saya akan melibatkan juga cabang-cabang theologi lainnya. Bab ini terutama akan membahas kata "Reformed? Bagaimana theolog Reformed melakukan pekerjaan mereka? Apa yang penting dari beragam hasil aktivitas bertheologi? Pertanyaan-pertanyaan sulit ini yang akan kita bahas.

Bekerja dalam bidang sains memerlukan kesabaran karena melibatkan proses yang lambat dan sangat teliti. Begitu juga bertheologi. Membahas cara bertheologi juga dapat membosankan. Tetapi menyadari apa yang kita lakukan itu berguna, dan jika kita melakukan pekerjaan dengan sadar maka kita akan semakin menyadari pekerjaan kita ketika sedang mengerjakannya. Contohnya, kita harus dapat membuktikan rasa dari puding jika kita memakannya.

Pembahasan saya mengenai cara theolog Reformed bertheologi pada masa kini meliputi 7 langkah berikut:

1. melakukan survey pustaka dan sejarah bertheologi sistematik;
2. membedakan tipe tipe-tipe utama theologi dan mencatat karakteristik utamanya;
3. menyadari dua pilihan utama ketika mulai bertheologi dalam bidang Reformed;
4. mengamati natur aktivitas sains agar bisa memahami natur theologi sebagai sains;
5. mengenali wilayah investigasi theologi dan norma-normanya;
6. mengakui Alkitab sebagai norma tertinggi, berusaha untuk mengerti seluruh Alkitab dalam terang sejarah Alkitab, theologi Alkitabiah, eksegese yang cermat dan perhatian terhadap masalah hermeneutika; akhirnya,
7. menarik implikasi theologi Reformed untuk iman dan kehidupan baik pribadi maupun kelompok.

MELAKUKAN SURVEY SEJARAH THEOLOGI

Theolog Reformed menyadari bahwa mereka membangun theologinya di atas dasar yang sudah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Tidak seorangpun dapat membangun theologi tanpa dasar. Seorang theolog harus memahami sejarah masa lalu dan situasi masa kini. Theologi melakukan pekerjaannya dalam persekutuan dengan theolog dari segala abad, termasuk mereka yang tidak sealiran, dan dengan demikian harus mengetahui theolog-theolog besar dalam sejarah dam membaca tulisan-tulisan mereka. Masalah utama apa yang dihadapi oleh theolog besar ini? Terhadap hal-hal apa mereka bereaksi dan apa yang mereka berusaha capai? Sumbangsih apa yang mereka berikan dan mengapa mereka penting bagi theologi Reformed masa kini? Apa yang dapat dipelajari dari mereka, baik hal-hal positif maupun negatif? Menjawab semua pertanyaan tersebut dengan melakukan survey awal terhadap sejarah theologi merupakan langkah yang baik untuk mulai bertheologi. Pada umumnya membaca sebuah buku tipis cukup sebagai orientasi.

Pembagian periode dalam sejarah selalu agak sembarang. Dari perspektif theologi sistematis, sejarah dibagi menjadi enam periode sbb: periode kuno atau patristik (tahun 90-800), Abad Pertengahan (800-1500), era Reformasi (1500-1650), periode Pencerahan (1650-1800), periode setelah Pencerahan, (1800-1920), periode antara dua Perang Dunia (1920-1939), dan periode kontemporer (1939-sekarang). Kejadian-kejadian dalam semua periode ini penting diketahui secara detail untuk bertheologi Reformed secara bertanggung jawab. Seluruh periode Reformasi pasti menarik perhatian theolog Protestan. Pengetahuan tentang Abad Pertengahan sangat membantu untuk memahami perkembangan Katholik Roma pada periode tersebut--- perkembangan ini pada umumnya ditolak oleh kaum Reformasi.

Sejarah theologi gereja permulaan juga penting. Pada abad ke 2 gereja berjuang keras melawan aliran Gnostik yang liberal. Berlawanan dengan pendapat umum, theologi tidak dimulai dari menara gading akademis, tetapi justru bangkit dalam konteks misi gereja yang membawa Injil Keselamatan Yesus Kristus kepada dunia kafir. Dalam melakukan misi ini, beberapa pertanyaan theologi terpenting harus dihadapi --- pertanyaan mengenai Tritunggal, kemanusiaan Yesus Kristus, dosa manusia, dan anugerah Allah. Keputusan 6 konsili Oikumene yang pertama (tahun 325-680) memberikan perspektif dan formulasi yang menjadi dasar theologi Reformed dan harus diperhatikan oleh semua tipe theologi.

Survey singkat terhadap seluruh sejarah theologi dan literarturnya mungkin membingung- kan seorang pemula, namun tetap harus dilakukan agar lambat laun merasa nyaman dalam arena theologi. Seorang theolog pemula harus akrab dengan perpustakaan yang berisi tulisan-tulisan utama theolog penting dan harus memiliki perpustakaan sendiri yang berisi yang selektif dan terus berkembang. Peta yang baik, kamus theologi dan ensiklopedia harus tersedia jika sedang belajar theologi, terutama bagi pemula. Irenaeus dan Tertullian, Athanasius dan Agustine, Anselm dan Aquinas, dan banyak lagi segera menjadi nama-nama yang sering terdengar dalam percakapan antar theolog.

MEMBEDAKAN TIPE-TIPE THEOLOGI

Survey terhadap sejarah dan literatur theologi memperlihatkan beberapa tipe theologi. Kita terlibat dalam theologi Reformed dengan menyadari keberadaan theologi lain yang berkompetisi. Dalam periode patristik sudah ada theolog yang muncul tetapi belum tampak jelas tipenya. Kecenderungan Barat dan Timur mencapai puncakknya dalam masa Agustinus dan John dari Damaskus.

Tipe theologi utama yang pertama muncul dalam Katholik Roma pada Abad Pertengahan. Theologi ini terutama dibangun di atas Summa Thomas Aquinas dan merefleksikan pendekatan "both-and". Keristenan dikombinasikan oleh Aristoteles sehingga menghasilkan dualisme antara natural dan supra-natural, rasio dan iman, theologi natural dan supra-natural. Alkitab dan tradisi sama-sama diakui otoritasnya dalam dualisme "both-and" ini. Iman dan usaha sama-sama menghasilkan keselamatan, dan banyak kombinasi serupa lainnya. Tantangan kaum Reformasi menyebabkan Roma meneguhkan posisinya dalam persetujuan Trent (1545-1563) dan memperjelas dan mengembangkan beberapa dogmanya dalam Konsili Vatican I (1869-1870). Walaupun ada semangat baru dalam Konsili Vatican II (1962-1965), pendekatan dualisme ini tetap merupakan pegangan resmi gereja Katolik Roma.

Slogan Reformasi menggambarkan kontras mendasar antara dualisme Katholik Roma dengan sola (hanya) theologi Protestan. Sola scriptura menekankan otoritas tunggal. Alkitab yang berlawanan dengan dualisme Alkitab dan tradisi. Ketaatan pada berita Alkitab membawa kepada sola fide dan sola gratia karena keselamatan hanya dari Kristus, hanya oleh anugerah melalui iman, bukan oleh iman dan usaha. Lutheran, Zwinglian dan Calvinian sepakat dalam hal-hal dasar, tetapi berbeda dalam sakramen dan aspek-aspek Kristologi. Munculnya aliran Zwinglian dan Calvinian dalam Persetujuan Zurich pada tahun 1549 menimbulkan 2 cabang theologi utama Protestan, yaitu Lutheran dan Calvinistic. Siapapun yang ingin bertheologi Reformed pada masa kini akan berada dalam tradisi Calvinistik namun tetap memperhatikan tipe aliran Lutheran dan Anabaptis.

Pada masa bangkitnya filsuf Imanuel Kant dan masa Pencerahan, sebuah tipe theologi baru berkembang, yaitu liberalisme atau modernisme yang muncul dari gereja Reformed (F. Schleiermacher) dan Lutheran (A. Ritschl) di Jerman. Aliran baru ini menolak ajaran pengakuan iman Protestan serta keputusan-keputusan doktrin patristik, dan menggambungkan ajaran bidat mengenai Tritunggal, Kristologi dan antropologi ke dalam struktur sistematisnya. Karena berpijak pada otonomi manusia, theolog liberal menolak otoritas Alkitab dan memfokuskan perhatian theologi pada pengalaman religi manusia dalam fenomena yang dapat dijelaskan secara rasional. Alkitab hanya dianggap sebagai catatan pengalaman-pengalaman religi suku Semit kuno. Pertanyaan mengenai hal yang baru dan salah dalam agama dan theologi digantikan dengan kategori- kategori evolusi. Gereja-gereja Protestan di seluruh dunia sangat terpengaruh oleh theologi baru yang radikal ini. Meskipun kaum Lutheran dan Calvinistik ortodoks masih ada dalam jumlah kecil di gereja-gereja besar, pemisahan gereja dianggap perlu terutama di Belanda dan Amerika Utara.

Karena dorongan Karl Barth sebuah theologi baru, yaitu Neo-ortodoks, muncul dari keruntuhan liberalisme dalam masa Perang Dunia I. Neo-ortodoks, yang mengetahui bahwa doktrin liberalisme Pelagian hancur karena perang, mengklaim kembali kepada Alkitab, kaum Reformasi dan theolog Patristik. Kalangan theolog di Amerika masih memperdebatkan apakah Neo-ortodoks sebenarnya merupakan langkah kembali kepada prinsip Reformed. Saya sendiri yakin bahwa Neo- ortodoks adalah sebuah theologi baru karena Neo-ortodoks menganggap bahwa Alkitab hanya sebagai saksi wahyu dan bukan wahyu itu sendiri dan karena Neo-ortodoks memiliki posisi doktrinal baru. Reaksi aliran ini terhadap liberalisme, dikontraskan dengan theologi Reformed klasik, bersifat docetik secara historis. Pewahyuan tidak berakar pada kejadian- kejadian nyata dan historis tetapi melibatkan kejadian misterius dan transeden pada masa kini dalam konteks kotbah. Neo-ortodoks adalah tipe theologi yang sangat kompleks dan merefleksikan pengaruh filsafat eksistansialisme.

Situasi periode kontemporer juga kompleks dan beragam. Theologi kuno sering dimodifikasikan dan dikombinasikan dengan yang lebih baru. Hal ini terutama nyata dalam perkembangan Katolik Roma. Theologi yang mengikuti mode seperti theologi "kematian Allah" digemari pada tahun 1960-an. Variasi Neo-liberalisme juga sedang bangkit. Tetapi W. Pannenberg dan J. Moltmann bereaksi terhadap theolog Barth dan Bultman dengan mengembangkan theologi yang lebih berakar pada sejarah. Theologi proses memiliki beberapa pengikut di Amerika Utara. Beberapa variasi theologi liberal, termasuk theologi kulit hitam dan theologi feminin, telah menjadi fenomena yang mendunia sejak tahun 1970an. Theolog pemula harus waspada terhadap semua variasi theologi dalam periode kontemporer ini, tetapi sebelumnya harus lebih dahulu berusaha memahami 4 theologi utama, yaitu Katholik Roma, Protestan (Reformed dan Lutheran), Liberal dan Neo-Ortodoks.

MENYADARI PILIHAN AWAL

Setelah menyelesaikan 2 tahap survey sejarah mungkin kita ingin segera mulai bertheologi. Tetapi pertanyaan pernting segera muncul: Bagaimana cara memulainya? Ada 2 cara yang berbeda dalam theologi Reformed. Seorang theolog pemula harus mengambil keputusan penting mengenai posisinya secara rasional atau haruskah presuposisi ini diterima hanya dengan iman?

Nama kedua posisi tersebut merefleksikan tempat asal mereka. Posisi Princeton Kuno dikembangkan dalam gereja Presbyterian yang berakar di Inggris dan diwakili oleh B.B. Warfield (1851-1921). Posisi Amterdam Kuno dikembangkan di Eropa, terutama di Belanda, dan diwakili oleh A. Kuyper (1837-1920). Kedua posisi Reformed ini dikembangkan dalam masa dominasi liberalisme dan ketika sains modern telah muncul. C. Hodge adalah penerus Schleiermacher, sedangkan Warfield dan Kuyper adalah penerus Ritschl dan khususnya Harnack, Hermann dan Troeltsch. Baik Kuyper maupun Warfield berakar pada Calvin, tetapi mereka menginterprestasikan bagian-bagian tertentu secara berbeda. Perdebatan mengenai kedua cara ini, terutama dalam kaitannya apolotegika, sering cukup sengit dalam kalangan Injili.

Pendekatan Princeton Kuno (Old Princeton) sangat dipengaruhi oleh filsafat Scottish Common Sense dan tradisi empiris. Warfield berpendapat bahwa sains mereduksi bagian pengetahu- an kita menjadi orde dan harmoni dan selalu mempresuposisikan 3 hal dasar. Sains theologi mempresuposisikan eksistensi Allah, natur religi manusia yang mampu mengetahui adanya Allah, dan wahyu yang menyatakan Allah ada. Sains yang bertanggung jawab adalah disiplin ilmu yang secara rasional membangun presuposisi ini, dan karena itu apologetika adalah titik awalnya. Presuposisi ini harus dibangun di atas dasar argumen rasional dan tanpa mengarah pada Alkitab atau iman. Dengan cara ini apologetika meletakkan fakta mengenai Allah, agama (Kekristenan) dan wahyu (Alkitab) di dalam tangan kita. Setelah presuposisi ini dibangun secara rasional oleh apoligetika, barulah kita dapat bertheologi dalam 4 cabang aliran utama.

A. Kuyper yang mewakili posisi Amsterdam Kuno menggunakan ketiga presuposisi dasar tersebut dalam aktivitas theologinya. Tetapi ia berpendapat bahwa presuposisi ini diberi oleh Alkitab dan seharusnya diterima dengan iman. usaha membangun presuposisi secara rasional bukan hanya mustahil, tetapi juga berlawanan dengan perspektif iman Reformed. Tidak seorangpun dapat menempatkan diri lebih tinggi dari Allah atau lebih tinggi dari Alkitab atau di luar iman. Kejatuhan Adam mempengaruhi rasio manusia. Akibatnya manusia mustahil dapat membangun presuposisi secara rasional. Posisi seorang Kristen jelas dan berlimpah, tetapi pikiran manusia yang sudah dicemari dosa tidak mampu berespons secara tepat tanpa iman kepada Alkitab. Manusia perlu `kaca-mata' Alkitab agar dapat menerima wahyu umum secara tepat. Menurut Kuyper, apologetika merupakan subdivisi theologi sistematis yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap serangan-serangan filsafat non-Kristen, bidat dan agama-agama lain. Tetapi apologetika harus bekerja sama dengan presuposisi-iman yang diperlukan untuk semua sains theologi. Kuyper tidak bekerja mulai dari posisi filfafat yang didefinisikan dengan jelas, tetapi filsafat yang sejalan dengan Kuyper dikembangkan kemudian oleh filsuf Belanda, H. Dooyeweerd dan DH Vollenhoven; C. Van til juga kemudian mengikuti jejak Kuyper dalam pengembangan apologetika yang berbeda dengan pendekatan Warfield dan Princeton Kuno.

Keputusan yang diambil antara 2 pilihan utama theologia Reformed ini tentu di- pengaruhi oleh latar belakang gereja dan pendidikan seseorang. Keputusan ini cukup mendasar karena melibatkan bagian-bagian Alkitab seperti Mazmur 19, Roma 1:18 dst, Kisah 14 dan 17, 1Korintus 2, dan Ibrani 11. Hal-hal dasar seperti wahyu umum, pengaruh dosa dan kemungkinan theologi natural menjadi bahan perdebatan, bahkan mungkin lebih lagi. Warfield berpendapat bahwa seluruh Kekristenan dibangun oleh ketiga presuposisi tsb. Keberatannya atas "rasionalisme vulgar" bukan pada rasionalismenya tetapi karena aliran itu berusaha membangun sampah Kekristenan melalui perdebatan jangka panjang.

Pemahaman saya mengenai hal-hal dan tulisan-tulisan tersebut di atas membuat saya memegang posisi Amsterdam Kuno pada saat mulai bertheologi. Seorang theolog pemula tidak boleh mengambil keputusan, agar kita dapat memahami tulisan-tulisan theologi. Pilihan pribadi memang tidak terelakkan dan sebaiknya dilakukan sedini mungkin dan secara bertanggung jawab. (hs).

MENELITI NATUR THEOLOGI SEBAGAI BIDANG SAINS

Pertanyaan penting mengenai natur theologi dan sains, yang jarang diperhatikan sebelum periode Pencerahan, tetapi harus dipertimbangkan terlepas dari apakah seseorang memilih theologi Reformed dalam jalur Princeton Kuno atau Amsterdam Kuno. Pada masa kini pertanyaan tersebut harus dihadapi walaupun tidak ada jawaban yang disetujui bersama. Baik Warfield maupun Kuyper menganggap theologi adalah bidang sains dan sepakat dalam presuposisi yang tercakup di dalamnya walaupun mereka memiliki perbedaan pribadi yang cukup penting.

Sains jelas melibatkan aktivitas tertentu yang membedakannya dari pengalaman sehari-hari. Kita mengalami hal-hal dalam hidup sehari-hari secara penuh dan berelasi satu sama lain. Pada musim gugur, misalnya, kita berjalan di antara pepohonan untuk menikmati warna dan aromanya. Kita terpesona akan pemandangannya dan bertanya-tanya mengapa ada daun yang merah atau kuning sedangkan yang lain masih hijau. Pengalaman sehari-hari melibatkan refleksi atau analisa pribadi atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Pada saat kita mulai berusaha menemukan mengapa sebagian daun berubah warna pada musim gugur, mengapa warnanya berlainan dan mengapa waktunya berlainan, kita mulai melakukan aktifitas sains. Berbeda dari pengalaman sehari-hari, sains memerlukan analisa sekunder dan penelitian mendalam. Kita harus mengambil contoh daun dan membawanya ke laboratorium. Kita harus melakukan test dan eksperimen dengan menggunakan mikroskop atau peralatan khusus lainnya. Kita mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan bagaimana, kapan dan mengapa melalui analisa sains.

Aktivitas serupa diperlukan dalam bertheologi. Kadang-kadang istilah theologi digunakan dalam arti populer, yaitu pembicaraan mengenai Allah, Alkitab atau hal-hal religi, tetapi sebenarnya itu hanya arti di permukaan. Theologi melibatkan lebih dari sekedar aktivitas atau pembicaraan religi. Orang Kristen membaca Alkitab dan berdoa kepada Tuhan secara individu. Mereka bersekutu, membaca Alkitab, mengakui iman dan mendiskusikan khotbah secara persekutuan. Keterlibatan dalam aktivitas tersebut memerlukan perhatian, refleksi, dan analisa primer. Tetapi sains sebagai aktivitas pendidikan memerlukan analisa sekunder. Laboratorium dan peralatan khusus tidak diperlukan dalam bertheologi, tetapi analisa masalah harus bersifat mikroskopis dan pembahasan dalam terang sejarah harus bersifat teleskopik. Natur Alkitab, karakteristik doa, kualitas pengakuan iman gereja dan arti mutlak suatu teks adalah topik-topik yang menjadi obyek investigasi theologi. Karena memiliki karakterisitik yang terdapat dalam sains, theologi haruslah dilihat sebagai bidang sains.

Keberadaan presuposisi dalam setiap bidang sains masih menjadi bahan perdebatan, tetapi keberadaannya lebih banyak diterima dalam dekade terakhir ini karena runtuhnya positivisme. Saya pribadi yakin bahwa sains tanpa presuposisi adalah mustahil, tetapi tidak perlu di bahas di sini. Bagaimanapun keberadaan presuposisi dalam theologi hampir tidak perlu diperdebatkan. Schleiermacher mungkin berfikir bahwa sainsnya memenuhi persyaratan objektivitas Pencerahan, tetapi kita dapat mengenal presuposisinya sekarang. Barth mengakui bahwa penekanannya terhadap wahyu tidak memungkinkan ia memenuhi kriteria positivisme yang digariskan H. Scholz Bultmann untuk menyatakan bahwa kebangkitan tidak mungkin terjadi. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa Reformasi terjadi ketika Luther dipaksa untuk mengganti presuposisi theologisnya. Analisanya yang teliti terhadap Roma 1 menyebabkan ia menolak presuposisi dualisme iman dan usaha, dan dengan demikian menemukan dan meyakini bahwa keselamatan hanya oleh anugerah melalui iman.

Sebagai kesimpulan, kita berpendapat bahwa bidang sains, termasuk sains theologi, melibatkan seorang manusia -- kita sebut `knower' -- yang selalu mulai dari presuposisi religi tertentu, diakui atau tidak. Secara positif atau negatif, presuposisi ini selalu berkaitan dengan Tuhan, Alkitab dan pengakuan iman tertentu. Presuposisi ini dapat berupa presuposisi Kristen, atau presuposisi non-Kristen. Untuk Kristen, presuposisi ini mungkin Katholik Roma, Lutheran atau Reformed. Berpijak pada presuposisi ini, `knower' mengarahkan kemampuan analitisnya terhadap suatu aspek untuk dipelajari secara detail dan hati-hati. Knower melakukan analisa sekunder terhadap aspek tsb. Semua ini adalah ciri umum semua bidang sains, termasuk theologi. Seorang theolog harus menyadari karakteristik sains karena karakteristik ini dapat menjadi cobaan unik atau kesempatan indah.

Apa yang membedakan antara bidang sains? Pertanyaan ini merupakan pembahasan berikut, investigasi theologi, khususnya theologi Reformed.

MENGENALI WILAYAH INVESTIGASI

Bidang sains dibedakan satu sama lain oleh wilayah investigasinya. Untuk theologi apa wilayahnya? Sebagian mengatakan Tuhan, wahyu, Alkitab atau pengalaman religi. Jawaban kontemporer merujuk pada berbagai sumber atau faktor pembentukan dalam theologi sistematis. Jika kita tidak ingin jawaban tak berbobot, maka pertanyaan ini sulit dijawab.

Dunia ciptaan Tuhan ini memperlihatkan berbagai aspek berbeda sehingga sains dasar yang serupa ada di seluruh dunia. Contohnya, biologi yang menyelidiki aspek biotik dan memfokuskan analisa sekundernya pada kehidupan tumbuhan, satwa dan manusia. Sains sejarah, sosiologi dan ekonomi memiliki wilayah investigasi yang jelas. Natur wilayah investigasi yang menyebabkan adanya perbedaan antara sains natural dengan kemanusiaan dalam hal test, eksperimen dan objektivitas. Tetapi setiap disiplin ilmu ini menunjukkan karakteristik sains, atau dalam bahasa Jerman "Wissenschaft". Dalam studi sains ada juga analisa sekunder sebuah aspek realita yang diabstraksikan secara teoritis dari keseluruhan konteks agar dapat diteliti secara mendalam. Lagipula orang yang melakukan aktivitas sains melakukannya dari perspektif keyakinan pribadi atau presuposisi pribadi. Sains dibedakan satu sama lain oleh wilayah investigasinya.

Apakah wilayah investigasi theologi? Definisi umum theologi adalah "sains Allah". A. Kuyper menantang definisi tersebut dengan mengatakan bahwa Allah tidak dapat ditaruh di bawah mikroskop; Allah hanya dapat dikenal sejauh Ia membuka Diri-Nya untuk dikenal. Dalam pandangan itu, definisi theologi yang lebih umum menjadi "sains wahyu" atau "sains Alkitab." Di bawah pengaruh Schleiermacher istilah ini diganti dengan "sains agama". Pandangan Barth mengenai wahyu membuatnya menganggap "khotbah Hari Minggu sebagai bahan baku dogma". Paul Tillich menganggap "pandangan Alkitab Neo-ortodoks" terlalu sempit dan menyebut "sumber-sumber theologi sistematis" adalah Alkitab, sejarah gereja, sejarah agama, dan kebudayaan. John Macquarrie menyebut bahwa "faktor-faktor pembentukan dalam theologi" adalah pengalaman, wahyu Alkitab, tradisi, kebudayaan, dan rasio. Seorang theolog berkulit hitam, James Cone, mengadaptasikan hal-hal tersebut dengan perspektifnya, menjadi pengalaman kulit hitam, sejarah kulit hitam, kebudayaan kulit hitam, wahyu, Alkitab dan tradisi. Walaupun theolog liberal berasal dari beberapa gereja berbeda, mereka bersama-sama menekankan "pengalaman penderitaan" sebagai sumber penting dan mengadaptasikannya terhadap hal-hal tersebut di atas.

Buku-buku theologi Reformed yang terbit sebelum munculnya Neo-ortodoks memberikan jawaban yang sama terhadap pertanyaan mengenai wilayah investigasi theologi. Untuk theologi Katholik Roma, wilayah investigasinya adalah Alkitab dan tradisi. Untuk theologi Protestan, khususnya Reformed, wilayah tersebut hanya Alkitab. Untuk theologi liberal, wilayah tersebut adalah pengalaman religi manusia. Itulah yang kupelajari dan merupakan jawaban awalku ketika mulai mengajar theologi sistematis pada awal tahun 1950-an.

Setelah beberapa tahun mengajar theologi, saya menemukan bahwa semua elemen tersebut di atas masuk ke dalam wilayah investigasi saya sebagai seorang theolog Reformed. Alkitab memang yang terutama, tetapi saya harus juga meletakkan pengakuan iman gereja, termasuk yang kuyakini secara pribadi, ke bawah analisa sekunder. Sebenarnya seluruh tradisi Reformed dan juga tradisi seluruh gereja Kristen adalah bagian wilayah investigasiku. Saya harus juga meneliti berbagai tipe theologi dan menyelidiki sumber dan faktor formatifnya, termasuk semua hal yang relevan dalam bidang filsafat, psikologi, sosiologi dan lainnya. Bahkan pengalaman, yang sulit didefinisikan dan selalu dicurigai sejak masa Schleiermacher, mempunyai peranan tertentu, walapun pengalaman kulit hitam atau pengalaman penderitaan bukan bagian sejarah pribadiku. Bagi saya sebagai theolog Reformed, semua faktor ini harus dipertimbangkan dan dapat menjadi obyek analisa sekunder.

Hal yang penting adalah: dalam seluruh keragaman wilayah investigasi theologi ini, tetapi ada kriteria atau norma untuk mengambil keputusan akhir. Apa yang berfungsi sebagai norma dalam wilayah studi yang beragam ini? Mungkin itulah yang sebenarnya dimaksudkan dalam buku-buku Reformed lama ketika memfokuskan pada Alkitab dan tradisi, hanya Alkitab atau pengalaman religi manusia. Seorang theolog Reformed harus berusaha menilai semua sumbernya berdasarkan otoritas Alkitab. Tradisi, pengalaman religi, theologi-theologi lain dan semua hal lain dalam wilayah investigasi harus tunduk kepada norma Alkitab. Sulit untuk menemukan istilah khusus untuk wilayah investigasi ini. H. Dooyeweerd menyebutnya "aspek pistic" atau "aspek iman", dengan Alkitab sebagai normanya dan gereja sebagai subyek atau agen primer dalam aspek pistis tsb. Mungkin itu cara yang cukup baik dalam mengenali wilayah investigasi, tetapi pembahasan terdahulu diperlukan untuk mengkonkritkan istilah apapun yang menjadi kesimpulan. Keutamaan Alkitab sebagai norma theologi Reformed perlu dibahas lebih lanjut.

MENERIMA KEUTAMAAN ALKITAB

Theolog Reformed harus memperhatikan semua hal yang merupakan bagian wilayah investigasi theologi, termasuk semua tipe theologi. Dalam semua segi investigasi, Alkitab harus diprioritaskan oleh theolog Reformed. Alkitab adalah sumber utama dan otoritas tertinggi untuk menilai apapun. Apa yang disebut "proof texts" dalam theologi sistematik (dogma) lebih tepat disebut "source texts" kunci. Hampir tidak perlu diperdebatkan lagi apa yang merupakan hal paling dasar dalam theologi Reformed, yaitu prioritas dan normativitas Alkitab dalam bertheologi. Saya akan membahas singkat hal-hal berikut: perhatian terhadap seluruh Alkitab (tota Scriptura), sejarah Alkitab, theologi Alkitabiah, exegese yang berhati-hati dan masalah hermeneutika.

Theolog Protestan setuju bahwa hanya Alkitab (sola Scriptura) yang menjadi otoritas atas semua aktivitas theologi. Keyakinan ini tetap mendasari theolog Reformed dan theolog Injili lainnya pada masa kini. Alkitab adalah norma mutlak dan otoritas tertinggi untuk menilai apapun yang diamati oleh theolog, mulai dari pengakuan gereja, dogma atau tradisi, pengalaman religi manusia, pegalaman penderitaan, sampai pada karya theolog lain --- termasuk mereka yang berada dalam tradisi yang sama. Hanya Alkitablah Firman Allah yang diwahyukan dan memiliki otoritas. Seluruh aktivitas manusia, termasuk theologi, dapat salah dan harus dinilai oleh hukum iman dan praktek yang tak mungkin bersalah.

Namun demikian di antara kaum Reformed terdapat perbedaan-perbedaan penting. Perbedaan tersebut sampai kini terdapat di antara theolog Protestan klasik. Sampai belum lama ini doktrin perjanjian masih merupakan perhatian eksklusif theolog Reformed walaupun Alkitab mempertahankan referensi-referensi perjanjian. Perjanjian dalam Alkitab sangat banyak diperhatikan dalam theologi Reformed sehingga "theologi perjanjian" menjadi label yang umum dipakai banyak theolog, terutama theolog dispensasi. Contoh lain adalah penekanan theologi Reformed terhadap kerajaan Allah sebagai alat penyelamatan dalam sejarah yang dipakai Allah untuk menyatakan kedaulatan-Nya dalam sejarah. Perspektif kerajaan ini berakar pada tulisan Agustinus "City of God" dan pada tulisan Calvin dan praktek Jenewa, lalu dikembangkan terutama oleh A. Kuyper dan theolog Reformed Belanda, dan sekarang menjadi tanda resmi theologi Reformed. Saya yakin bahwa berbagai perjanjian dalam Alkitab semuanya merupakan instrumen atau pelaku administrasi kerajaan Allah dalam sejarah. Kerajaan Allah berkaitan erat dengan kedaulatan Allah dan pandangan hidup dan dunia yang merupakan karakteristik Calvinisme.

Apa yang menyebabkan perbedaan dalam tipe-tipe theologi Protestan klasik? Bagaimana penjelasan mengenai perhatian unik Reformed terhadap perjanjian dan kerajaan? Hal-hal ini tentu penting dalam seluruh Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan harus diperhatikan oleh semua yang menganut sola Scriptura. Saya yakin bahwa penekanan Reformed ini berasal dari perhatian seimbang terhadap sola Scriptura dan tota Scriptura. Walaupun tota Scriptura tidak pernah menjadi slogan populer, perhatian terhadap keseluruhan berita Alkitab merupakan karakteristik unik theologi Reformed. Keunikan theologi Reformed tidak hanya ditandai oleh pandangan terhadap sakramen atau penekanan terhadap kedaulatan Allah atau pembelaan yang bersemangat terhadap predestinasi atau "lima butir Calvinisme", tetapi keunikan tersebut harus dilihat dari tujuannya untuk setia terhadap seluruh Alkitab. Inti theologi Calvin adalah dorongan untuk berbicara mengenai hal-hal yang dibicarakan Alkitab dan berdiam diri mengenai hal-hal yang tidak dibicarakan Alkitab. Tujuan ini harus menjadi tujuan semua theolog Reformed pada masa kini. Theolog harus bertujuan untuk bertheologi dalam seluruh kanon Alkitab dan menghindari godaan untuk bertahan pada hanya satu kanon. Memang theologi Reformed belum (dan mungkin tidak akan pernah) mencapai tujuan tsb. Belum ada seorang theolog Reformed pun yang berhasil menggali seluruh kedalaman dan kekayaan tambang emas Alkitab. Masih banyak yang dapat dikerjakan oleh siapapun yang ingin bertheologi Reformed pada masa kini!

SEJARAH ALKITAB

Alkitab tidak memiliki koleksi "teks bukti" yang dapat dipilih dan dikutip seperti memilih ilustrasi dari Bartlett's Familiar Quotations. Wahyu Alkitab diberikan kepada kita dalam konteks sejarah dan dalam periode yang panjang. Perjanjian Lama ditulis dalam lebih dari 1000 tahun dan periode sejarah yang lebih panjang lagi. Perjanjian Baru ditulis dalam kurang dari 100 tahun dan dalam satu generasi. Periode sejarah tersebut harus selalu diingat ketika menginterpretasikan bagian Alkitab.

Sejarah Alkitab terbagi dalam beberapa epik yang sangat berbeda. Pada saat merenungkan bagian tertentu, kita harus memperhatikan buku yang di dalamnya bagian tersebut berada dan kerangka waktu bagian tersebut dituliskan. Hal ini harus diperhatikan baik oleh theolog sistematika maupun oleh pelajar-pelajar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Periode-periode utama dimulai pada nama-nama berikut: Kejadian, Kejatuhan, Air Bah, Babel, Abraham, Musa, Yosua, Hakim-hakim, kerajaan, perpecahan kerajaan, kerajaan Yehuda saja (periode antara), inkarnasi Yesus, pelayanan-Nya, kenaikan-Nya, dan Pentakosta. Dalam hal ini kita perlu mengingat konteks sejarah dari kitab-kitab nubuat selama 5 abad, mulai dari perpecahan kerajaan sampai akhir kanon Perjanjian Lama. Untuk dapat mengerti bagian-bagian Alkitab tertentu dan menerapkan theologi sistematika, kita harus mengenali kapan dan kepada siapa kalimat-kalimat tersebut dituliskan dan ditujukan. Memahami seluruh sejarah Alkitab dan situasi sejarah dalam bagian yang direnungkan adalah sangat penting jika kita ingin bersikap benar terhadap seluruh Alkitab, tota Scriptura.

THEOLOGI ALKITABIAH

Theologi sistematika atau dogma mengarah kepada ringkasan atau ikhtisar menyeluruh dari pengajaran Alkitab. Cara paling umum menyusun bahan tersebut adalah dengan bekerja secara berturutan atas doktrin-doktrin wahyu (prolegomena), Allah, kemanusiaan (antropologi), Kristus (Kristologi), keselamatan (soteriologi), gereja (eklesiologi), dan masa depan (eskatologi). Theolog sistematika menemukan bahwa disiplin theologi lain, yaitu theologi Alkitabiah, ternyata sangat menolong untuk mengerti dan mempersentasikan seluruh berita Alkitab. Theologi Alkitabiah tidak terlihat sebagai disiplin yang berbeda sebelum akhir abad 18. Theologi Alkitabiah sebelumnya merupakan produk penolakan rasional periode Pencerahan terhadap Alkitab yang diwahyukan dan berotoritas. Theologi tersebut lalu dikembangkan oleh Geerhadus Vos (1862-1949) dalam theologi Reformed.

Theologi alkitabiah mengikuti pendekatan penyelamatan-sejarah dan menaruh perhatian pada berbagai tahap dalam sejarah wahyu khusus. Vos berpendapat bahwa theologi Alkitabiah menarik garis, sedangkan theologi sistematis membentuk lingkaran. Theologi Alkitabiah memperhatikan proses sejarah dalam menarik garis tersebut dan menggunakan korelasi dan sistematisasi dalam kerangka waktu yang diperhatikannya. Dengan demikian theologi Alkitabiah dapat saja membatasi diri pada kelima Kitab Musa dan menggambarkan perkembangan doktrin yang terjadi dalam periode tersebut. Demikian juga theologi Alkitabiah dapat bekerja terhadap salah satu kitab nabi atau beberapa kitab yang kontemporer. Theologi Alkitabiah juga dapat membatasi diri pada seluruh Perjanjian Baru saja, juga dapat membatasi diri pada perjanjian dalam kelima kitab Musa atau pada kerajaan dalam Injil Sinoptik.

Karena berkonsentrasi pada struktur sejarah dalam proses pewahyuan, theologi Alkitabiah menjadi sangat penting untuk melakukan theologi sistematika Reformed. Memperhatikan wahyu tertentu pada suatu subyek dalam periode sejarah tertentu bukan hanya mempertajam perhatian kita pada hal baru dalam tahap berikutnya, tetapi juga menolong kita memperoleh berita Alkitab secara keseluruhan sampai masa konsumsi pada kedatangan Kristus dan Perjanjian Baru. Kontak teratur dengan theologi Alkitabiah menolong orang yang melakukan theologi sistematika untuk menghindari bahaya mendistorsikan Alkitab dan menolong mengerti abstraksi dan formulasi tanpa waktu yang muncul dalam pendapat theolog Protestan abad 17 yang berpaling kepada Aristoteles atau Descartes untuk mencari pertolongan filsafat ketika menulis theologi dogmatik.

Jika kita ingin bagian-bagian Alkitab berfungsi sebagai sumber teks asli untuk theologi sistematika, maka kita tidak dapat mengabaikan konteks sejarah Alkitab dan juga karakter organik dari kesatuan berita Alkitab. Theologi Alkitabiah sangat menolong untuk mengembangkan theologi sistematika yang vital dan hidup, terutama jika dikembangkan dalam perspektif Reformed.

EXSEGESE ALKITABIAH

Bagi theolog Reformed yang ingin setia kepada seluruh Alkitab, interpretasi Alkitab menjadi tanggung jawab terberat yang harus dipenuhi. Setiap orang percaya harus terlibat interpretasi Alkitab agar dapat mengerti beritanya. Jika interpretasi tersebut dilakukan dalam suatu disiplin ilmu, sebagai pelajaran atau secara ilmiah, hal itu disebut exegese. Tidak ada cara mudah untuk menunaikan tugas ini.

Berlawanan dengan Katholik Roma, kaum Reformasi menekankan bahwa berita keselamatan sangat jelas untuk setiap orang percaya yang awam. Namun demikian hal itu tidak membuat mereka mengabaikan pendidikan formal yang dibutuhkan oleh para pengajar dan pendeta mereka agar dapat mengexegese Alkitab dengan bertanggung jawab. Mereka menerima perkataan Petrus mengenai tulisan Paulus: "Dalam suratnya ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain." (2Petrus 3:16). Dan theolog sistematika mungkin akan menemukan juga surat-surat Petrus yang bahkan lebih sulit dari tulisan Paulus! Tentu saja Roh yang sama yang menginspirasikan Alkitab harus juga mengiluminasikan orang percaya agar dapat menginterpretasikan Alkitab dengan tepat. Namun hal ini tidak dapat diharapkan terjadi tanpa kerja keras manusia yang menginterprestasikan. Kerja keras tersebut memerlukan perhatian terhadap bagian-bagian dalam bahasa asli, yaitu Ibrani atau Yunani, dalam terang seluruh berita Alkitab.

Metode exsegese tokoh-tokoh Reformasi, terutama Calvin dan penerus-penerusnya, disebut metode interprestasi theologi-sejarah-tatabahasa. Secara sederhana hal tersebut berarti analisa tulisan Alkitab harus mempertimbangkan sejarah Alkitab dan juga theologi Alkitabiah seperti disebutkan di atas. Pada masa kini metode tersebut mungkin lebih tepat disebut metode exegese kanon-theologi-sejarah-literal-tatabahasa. Tugas exegese dasar yang kompleks ini perlu dijelaskan secara singkat.

Alkitab adalah Firman Allah yang tertulis; wahyu Alkitab adalah dalam bentuk bahasa verbal. Karena itu exegese harus berusaha memahami dan menginterpretasikan kata-kata dalam kalimat dan kalimat dalam konteks. Kalimat-kalimat tersebut adalah bagian komposisi literal. Dalam Alkitab terdapat beragam tipe literal atau genre. Theolog harus memperhatikan karakteristik genre dalam menginterprestasikan teks tertentu. Jadi exsegese literal-tatabahasa diperlukan dalam theologi Reformed. Ini tentu termasuk pengetahuan akan bahasa asli Alkitab.

Perkataan dalam Alkitab melaporkan, menginterprestasikan, mewahyukan dan memproklamasikan hal-hal yang Allah kerjakan dalam sejarah. Alkitab mempresentasikan hal-hal yang diwahyukan mengenai kejadian dan penyelamatan, termasuk tindakan dan kata-kata Allah. Alkitab mewahyukan kabar baik, kabar tentang hal-hal yang benar-benar terjadi dalam sejarah --- peristiwa sejarah yang nyata. Lebih lanjut, penuturan Alkitab tentang peristiwa penyelamatan historis ini dilakukan dalam konteks sejarah. Interpretasi tepat tentang peristiwa dan perkataan sejarah ini memerlukan pemahaman Alkitab dalam konteks sejarah. Jadi exegese sejarah diperlukan dalam theologi Reformed.

Alkitab mempresentasikan berita dari Allah dan tentang Allah dan tentang karya keselamatan-Nya dalam sejarah. Exegese harus berusaha untuk memahami berita "theologi" Alkitab ini. Seluruh ekspresi bahasa tentang wahyu bersifat parsial dan terpotong-potong. Tetapi orang yang menginterpretasikan harus berusaha mengerti keseluruhan berita melalui bagian-bagiannya. Berita seluruh kanon harus dicapai dari kontribusi setiap buku secara individual. Jadi exegese Alkitabiah secara kanon-theologi diperlukan dalam theologi Reformed. Walaupun hal ini adalah segi-segi exegese yang saling berbeda, theolog Reformed yang menginterpretasikan Alkitab harus berusaha memperoleh kesatuan berita melalui segi-segi yang saling berbeda tetapi saling berkaitan dalam exegese kanon-theologi-sejarah-literal-tata bahasa.

Jadi selain terlibat dalam analisa mikroskopis teks Alkitab, theolog Reformed harus juga mengejar pandangan teleskopik dengan meneliti spesimen-spesimen dalam sejarah interpretasi. Penelitian interpretasi dengan kontemporari dari beberapa tradisi theologi lain dapat menantang theolog untuk melihat perspektif teks yang mungkin dapat luput dari perhatian. Semua hasil valid dari exegese demikian kemudian harus dirangkum dalam theologi sistematis Reformed yang sungguh-sungguh merefleksikan seluruh berita Alkitab.

HERMENEUTIKA

Sebelum Schleiermacher hermeneutika umumnya dianggap hanya merupakan aturan exegese. Schleiermacher menyadari bahwa theologi barunya memerlukan hermeneutika baru. Sejak itu masalah hermeneutika berkembang menjadi lebih luas dan semakin penting. Beberapa pengikut R. Bultmann mengklaim bahwa hermeneutika mencakup seluruh theologi. Walaupun hal itu mungkin berlebihan, masalah hermeneutika memerlukan perhatian khusus pada masa kini.

Perbedaan hasil exegese tidak selalu dapat dijelaskan karena perbedaan kompentensi pelakunya atau karena kesalahan satu atau beberapa pelakunya. Interpretasi yang bertujuan mencapai pemahaman sebuah bagian Alkitab merupakan hal yang sangat kompleks seperti tampak melalui studi exegese. Hal-hal seperti yang dibahas di atas --- natur sains theologi dan peranan presuposisi atau pra-pemahaman seseorang --- sekarang dikenal sebagai masalah hermeneutika. Perbedaan antara theolog Lutheran dan Reformed mengenai sakramen mungkin hanya mengenai pertanyaan apakah kata kerja "adalah" dalam perkataan Yesus, "Ini adalah tubuh-Ku" harus dimengerti secara literal atau secara figuratif dan spriritual. Tetapi perbedaan-perbedaan lain dalam theologi Lutheran timbul dari perbedaan hukum-Injil yang berfungsi hermeneutika dalam karya exegese Lutheran. Perbedaan hermeneutika yang bahkan lebih besar telah membedakan theologi Reformed dari Katholik Roma, Liberal, Neo-ortodoks, dan theologi setelah Bultman.

Dimensi-dimensi masalah hermeneutika tidak dapat dibahas di sini tetapi refleksi mengenai masalah yang dibahas sebelumnya akan membawa kita makin dalam kepada wilayah yang kompleks ini. Semakin secara sadar seseorang terlibat dalam interpretasi Alkitab dalam bertheologi, semakin terkesan orang tersebut akan masalah-masalah hermeneutika. Dan seseorang yang terlibat dalam studi dan melakukan theologi Reformed akan bertambah sadar akan pentingnya hal tersebut walaupun masalah-masalahnya tidak dibahas secara eksplisit.

MENYIMPULKAN IMPLIKASI TERHADAP IMAN DAN KEHIDUPAN

Pendalaman theologi memiliki konsekuensi terhadap iman dan kehidupan. Memang masalah-masalahnya tentang hidup dan mati! Melakukan theologi Reformed dapat dan seharusnya menjadi pengalaman yang menyenangkan. Dengan menggunakan analisa sekunder dan refleksi terhadap bagian-bagian kunci dalam Alkitab seseorang dapat bertumbuh secara pribadi dalam iman maupun kehidupan. Melakukan theologi Reformed adalah pengalaman yang memperkaya diri, karena tidak seperti bidang sains lainnya, theologi Reformed menawarkan relasi akrab antara presuposisi religi seseorang dengan wilayah investigasi. Pada saat hasil aktivitas theologi yang baik dituangkan kembali ke dalam pengalaman hidup seseorang, akan terjadi pertumbuhan pribadi yang mengejutkan.

Jika seseorang sungguh-sungguh berusaha memahami Alkitab dan wilayah investigasinya, sesuatu yang lebih dari sekedar kemajuan intelektual terjadi. Memahami sesungguhnya melibatkan hati, mempengaruhi keseluruhan pribadi, intelektual, kemauan dan emosi. Pemahaman hati menjangkau iman dan kehidupan: mempercayai Allah dan melakukan kehendak-Nya. Aktivitas theologi demikian bertujuan bukan mencapai dominasi, tetapi pelayanan terhadap Allah dan sesama manusia melalui pembangunan gereja Kristus dan pengembangan kerajaan Allah. Proses mendengarkan perkataan Allah, menginterpretasikannya ketika melakukan sains theologi, seharusnya memberi sumbangsih kepada semakin dekatnya seorang percaya dengan Allah dan firman-Nya, sehingga hidup ini dijalani menurut pimpinan Allah yang diwahyukan dalam Alkitab. Pemberian Allah (Gabe) memberikan tugas kepada kita (Aufgabe) untuk hidup dalam masa kini bagi kemuliaan-Nya.

Saya menyimpulkan ini dengan deskripsi doxologi tentang kemuliaan tugas tersebut, seperti yang dituliskan sesorang theolog Reformed yang berdedikasi sbb:

Pada saat kita mempertimbangkan dengan tepat proposisi

bahwa Alkitab adalah deposito wahyu khusus
bahwa Alkitab adalah orakel Allah
bahwa di dalamnya Allah menemui dan berbicara kepada kita,
menyatakan kemuliaan-Nya yang tak terpahami
memanggil kita ke dalam pengenalan dan pemenuhan kehendak-Nya
menyingkapkan kepada kita misteri pimpinan-Nya,
dan membukakan maksud-maksud anugerah-Nya,
maka theologi sistematika, daripada semua sains dan disiplin
ilmu,
tampak sebagai yang paling mulia,
bukan refleksi dingin tanpa perasaan,
tetapi sesuatu yang membangkitkan kekaguman
dan mengklaim, penggunaan kemampuan kita yang paling suci.
Theologi sistematika adalah yang paling mulia dari semua
studi karena berusaha memahami seluruh pimpinan Allah
dan berusaha, tidak seperti disiplin ilmu lain,
menegakkan kekayaan wahyu Allah
dalam cara yang teratur dan hormat
yang merupakan metode dan fungsinya yang khusus
Semua bagian lain disiplin theologi
mengkontribusikan penemuannya kepada theologi sistematika
dan membawa semua kekayaan pengetahuan
yang diperoleh dari semua disiplin tersebut
untuk diberikan kepada sistematisasi yang lebih inklusif
yang dilakukannya. (hs)

Sumber diambil dari:
Judul Buku : Momentum

Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi

Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi

Salam,
Reformasi abad ke-16 yang dimotori oleh Martin Luther adalah momentum Illahi. Sebuah gerakan pembaharuan rohani yang muncul tepat pada puncak penduniawian gereja oleh Katolik Roma. Momen ini dapat ditafsirkan sebagai sejarah yang terulang sejak Reformasi Ezra dan Nehemia dalam sejarah umat Allah untuk pemurnian umat.
Dipublikasikannya 95 Tesis sebagai data akurat dan tidak terbantahkan yang disusun oleh Martin Luther untuk menunjukkan bukti penyimpangan ajaran dan korupsi gereja Katolik Roma di gerbang gereja Wittenburg adalah titik penentu keefektifan Reformasi ini. Efektivitas Reformasi yang terutama adalah revitalisasi religiusitas dan teologis. Reformasi adalah awal babak baru pemurnian iman dan pengajaran dalam gereja Tuhan dan menjadi penentu arah perkembangan teologi dan pengajaran di kemudian hari.
Calvin, penerus Luther, adalah salah seorang reformator yang mampu menafsirkan gerakan itu sebagai momen yang mampu merevitalisasi kehidupan religius dan teologia pada zamannya dan berefek sampai hari ini. Baginya, kebenaran ajaran dan teologi gereja ditentukan dan didasarkan pada Alkitab dan interpretasinya yang benar. Prinsip Sola Scriptura adalah penentu keberhasilan Reformasi. Dari prinsip ini akan ditemui prinsip-prinsip yang menyertainya, seperti Sola Gratia dan Sola Fide, termasuk Sola Gloria.
Tugas Calvin, khususnya sebagai penafsir Alkitab, telah berhasil membawa Reformasi keluar dari mistikisme gereja; corak dominan pengajaran dan teologia gereja abad pertengahan, dengan cara menolak interpretasi Alkitab secara alegoris. Sebaliknya, Calvin, secara realistis sanggup memadukan doktrin dan mengajarkannya dari sudut pandang pembinaan untuk warga jemaat secara sistematis dan alkitabiah. Calvin mampu mengajarkan kemuliaan Allah berdasarkan kebutuhan rohani pada zamannya yang secara esensi tidak bisa dilepaskan dari prinsip Alkitab. Gerakan Reformasi itu sangat biblikal karena menekankan pentingnya penafsiran Alkitab secara literal dan historis.
Alkitab adalah dasar Reformasi dan kedaulatan Allah adalah segala- galanya. Karena Reformasi sangat menekankan Alkitab dan kedaulatan Allah sebagai pusat teologi, maka pada era-era sekarang, teologi Reformasi cenderung menjadi "tolok ukur" untuk menguji teologia- teologia lainnya. Teologi Reformasi "mampu mengukur" konsistensi dan ketepatan, sekaligus mendeteksi penyimpangan berbagai aliran teologi. Dari sinilah prinsip Calvin, "Speak where the Scriptures speak; be silent where they are silent" menjadi terkenal. Bagi Calvin, Alkitab dan Allah tidak dapat dipisahkan dalam pengajaran dan teologia alkitabiah. Inilah salah satu warisan Reformasi yang sangat berpengaruh sampai saat ini di samping warisan-warisan besar lainnya.
Untuk memperingati Hari Reformasi Gereja, yang akan diperingati tanggal 31 Oktober 2007 nanti, dan juga untuk mengingat kembali efektivitas gerakan Reformasi abad ke-16 yang lalu dan menguji kembali apakah kebenaran yang telah ditegakkan oleh para reformator, khususnya Calvin, tentang pentingnya Alkitab sebagai sumber final pengajaran dan teologi itu masih relevan, maka, tulisan Dr. Daniel Lucas Lukito di bawah ini mencoba menganalisa kesinambungan esensi dan relevansi gerakan tersebut dalam pengajaran iman dan teologi Kristen hari ini.
PENDAHULUAN
Menurut kronologi sejarah, gereja Protestan mulai bereksistensi pada peristiwa Reformasi abad ke-16. Sekalipun saat itu Martin Luther -- juga kemudian John Calvin -- menentang ajaran gereja Katolik Roma, mereka tidak bermaksud mendirikan gereja yang baru. Tujuan Reformasi itu sendiri adalah untuk menyerukan sebuah amanat agar gereja kembali kepada dasar ajaran dan misi yang sesungguhnya; gereja disadarkan dan dibangunkan agar berpaling pada "raison d`etre" dan vitalitasnya di bawah terang Injil.
Menurut ajaran gereja Katolik Roma pada zaman itu, gereja memiliki "gudang" penyimpanan anugerah berlimpah yang diperoleh dari orang- orang kudus yang perbuatan baiknya melampaui tuntutan kewajiban bagi keselamatan mereka. Itulah sebabnya, bagi mereka yang kekurangan anugerah, gereja sebagai sumber dapat menyalurkannya. Dari konsep pemikiran tersebut, meluncurlah ajaran tentang "surat penghapusan siksa" (indulgences) yang dapat diperjualbelikan. Bahkan Paus Sixtus IV, pada ca. 1460 mendeklarasikan bahwa khasiat dari surat penghapusan itu dapat ditransferkan kepada orang Kristen yang jiwanya "tersangkut" dalam purgatori atau (tempat) api penyucian.
Karena itulah, pada 31 Oktober 1517 Luther memakukan 95 tesis atau keberatan pada pintu sebuah gereja di Wittenberg. Ia mengajukan keberatan sekaligus protes yang isinya sebenarnya ditujukan kepada penyimpangan ajaran dan korupsi gereja, khususnya dalam hal penjualan "surat penghapusan siksa" di mana seakan-akan pengampunan dosa itu sendiri dapat diperoleh secara kontribusional atau komersial.[1] Jadi, tujuan Luther yang sepolos-polosnya dan semurni-murninya ialah mengembalikan gereja pada esensi yang sesungguhnya dari iman Kristen.
Memang secara umum, istilah "reformasi" menunjuk pada adanya suatu penyimpangan atau penyelewengan yang dienyahkan serta adanya suatu usaha penataan kembali terhadap hal-hal yang esensial. Singkatnya, terdapat koreksi dan perbaikan dari sebuah keadaan. Sebagai contoh, Raja Hizkia (2Raj. 18:1-18) jelas mengadakan suatu reformasi berupa pemberantasan terhadap penyimpangan di dalam ibadah, serta perpalingan kembali untuk menyembah Yahweh. Demikian pula yang dilakukan oleh Raja Yosia (2Raj. 23:4-20); ia mengoreksi peribadatan bangsa Israel yang korup, sekaligus mengembalikan bangsanya pada penyembahan yang benar (ay. 21-23).
Dalam sejarah gereja, Reformasi (dengan huruf "r" kapital) menunjuk pada pembaruan terhadap gereja melalui usaha yang tidak jauh berbeda dengan dua kejadian di atas. Gereja seolah-olah direvitalisasikan atau dihidupkan kembali agar kembali pada sumber pemberi hidupnya, yaitu Allah dan firman-Nya. Jadi, Reformasi terhadap gereja pada abad 16 merupakan usaha pembaruan, bukan pemberontakan (It was a reform, not a revolt). Alasannya, kontinuitas terhadap sumber ajaran yang esensial itu tetap dipelihara. Kalaupun pada akhirnya berdiri gereja Protestan sebagai gereja yang baru, gereja itu sendiri sebenarnya adalah gereja yang lama dari zaman para rasul. Inti permasalahannya hanyalah gereja yang ada saat itu (gereja Katolik Roma) menolak usaha pengoreksian tersebut, bahkan menolak usaha pengembalian pada ajaran gereja yang rasuli. Hal ini juga berarti bahwa semua faktor (seperti kaitan sosial, politik, dan intelektual) yang menyertai peristiwa Reformasi abad 16 itu bukanlah faktor yang utama karena asal-usul dan maksud Reformasi itu sendiri bersifat religius dan teologis.
Dengan demikian, kita dapat mengerti bahwa kelanjutan dari Reformasi yang dikerjakan oleh Calvin, Melanchthon, Zwingli, Bucer, Oecolampadius, Farel, Beza, Bullinger, Knox, Ursinus, Olevianus, dan lainnya, semuanya tidak jauh berbeda dari Luther bila ditinjau dari esensi pemikiran dasarnya. Tulisan ini mencoba melihat teologi Reformasi dari segi hakikat/esensinya serta kaitan/relevansinya dengan iman Kristen pada masa kini. Karena keterbatasan ruang, penulis lebih banyak memfokuskan pembahasan pada pandangan J. Calvin (1509 -- 1564) tentang esensi Reformasi itu sendiri karena di dalam pemikiran Calvinlah kita dapat menemukan pemikiran dasar teologi Reformasi dalam struktur yang lebih mendalam dan sistematis.
ESENSI TEOLOGI REFORMASI
Calvin lebih dikenal sebagai juru sistematisir dari Reformasi yang dimulai oleh Luther. Meskipun ia adalah tokoh generasi kedua, ternyata ia sanggup memadukan doktrin dari Alkitab secara sistematis. Bila dilihat dari karyanya yang agung seperti "Institutes of the Christian Religion",[2] komentari, dan karya-karya tulis lainnya, tampaknya tidak ada seorang reformator pun baik sebelum atau sesudah Calvin yang sanggup melampaui karya-karyanya tersebut. Penulis sendiri merasa "iri" kepada kejeniusannya yang pada usia 27 tahun (tahun 1536) telah menghasilkan karya monumental (Institutio) untuk pertama kali.[3]
Mungkin ada sebagian orang mengira Calvin adalah seorang teolog yang aktivitasnya kebanyakan hanya di belakang meja tulis (zaman sekarang, di belakang meja komputer) dan menjadi seorang "scholar" yang nongkrong di atas "menara gading." Perkiraan seperti itu benar-benar keliru. Calvin pertama-tama adalah seorang gembala atau pendeta yang melayani di gereja. Di dalam pelayanan tersebut, ia berpikir dan menulis karya-karya teologinya selalu dari sudut pandang pembinaan untuk warga jemaat.[4] Ia sendiri mengatakan hal ini dengan jelas di dalam edisi perdana dari "Institutio"-nya bahwa karya tersebut ditujukan "terutama untuk masyarakat awam Prancis, di mana banyak di antara mereka yang lapar dan haus akan (pengenalan pada) Kristus. Buku ini sendiri boleh dikata merupakan bentuk pengajaran yang sederhana dan elementer." Di dalam karya tersebut kita melihat catatan-catatan yang bersifat pastoral, pembinaan gereja, pendidikan agama Kristen di rumah dan gereja, bahan katekisasi, dan sejenisnya. Itu sebabnya, tidak mengherankan jika gereja yang dilayani oleh Calvin di Geneva menjadi gereja model bagi gerakan Reformasi.
Sekarang, bila kita hendak meninjau ciri-ciri teologi Reformasi satu per satu, ini tentu merupakan sesuatu hal yang tidak mungkin. Dari satu sisi, seseorang dapat mengembangkan ajaran tentang teosentrisitas Allah atau tentang kedaulatan Allah dalam teologi Reformasi. Dari sisi yang berbeda orang yang lain dapat menekankan keajaiban kasih karunia (sola gratia), atau tentang satu-satunya iman yang ajaib (sola fide). Dari sisi yang lebih spesifik, bisa saja orang yang lain lagi membicarakan epistemologi dari teologi Reformasi, atau tentang keunikan manusia, tentang keselamatan, tentang "covenant", predestinasi, kerajaan Allah, gereja, perjamuan kudus, kebudayaan, dan seterusnya. Apabila kesemuanya itu hendak dibahas atau ditinjau satu per satu, tidaklah menjadi masalah. Hanya saja, apabila seseorang mau menelusuri teologi Reformasi secara konsisten, ia harus mengakui bahwa esensi atau "benang merah" dari Reformasi itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari ajaran atau prinsip yang berakar pada Alkitab (the Scriptural principle).[5]
Sebagai contoh, Calvin sendiri membahas siapa Allah, siapa manusia, dan kaitan antara kedua tema itu. "True knowledge of man is unattainable without knowledge of the living God."[6] Namun, ia senantiasa menimba ajaran-ajaran tersebut dari prinsip dasar Alkitab. Singkatnya, "worldview" dan "lifeview"-nya selalu memiliki referensi yang tepat di dalam Alkitab. Sebagai gembala, pengkhotbah, ekseget dan teolog, ia selalu tidak terlepas relasinya dengan Alkitab. "Holy Scripture contains a perfect doctrine, to which one can add nothing .... "[7] Dengan demikian, dari satu segi, Calvin boleh dikata pertama-tama adalah seorang "biblical theologian", oleh karena ia memang betul-betul terlatih dan menguasai teknik-teknik eksegese yang berhubungan dengan penelitian sejarah dan tata bahasa Alkitab.
Melalui karya-karyanya, Calvin jelas menolak metode interpretasi dari teolog abad pertengahan yang cenderung mengalegorikan, merohanikan, dan memolarisasikan Alkitab. Ia menegaskan bahwa penafsiran Alkitab yang benar harus kembali pada arti yang literal dari perkataan Alkitab dan sesuai konteks historisnya. Maksudnya, apa yang orang Kristen katakan tentang Allah haruslah sejauh yang Alkitab katakan tentang Allah. Oleh karena itu, di dalam pikirannya setiap orang Kristen harus sampai pada pengakuan bahwa pengenalannya akan Allah memiliki batas dan di dalam pengenalan itu senantiasa terdapat suatu misteri. Batas dan misteri tersebut tidak dapat ditembus oleh pikiran manusia. Itulah sebabnya, Calvin kerap mengutip Ulangan 29:29 di dalam karyanya.
Penekanan pada prinsip bahwa Alkitab menjadi sumber satu-satunya tersebut membuat Calvin "tertawan" pada pikiran bahwa Alkitablah satu- satunya otoritas terakhir yang menentukan kepercayaan, tindakan, dan kehidupan Kristen. Pandangan tersebut barangkali terkesan naif, simplistis, dan tidak cocok bagi kalangan atau aliran modern tertentu dewasa ini. Bagi orang yang berteologi liberal, Alkitab tidak terlalu berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya. Bagi orang yang berteologi neo-ortodoks, Alkitab tidak mungkin dijadikan otoritas satu-satunya karena Alkitab tidak identik dengan firman Allah. Kalaupun kedua kalangan tersebut mengatakan bahwa mereka menerima otoritas Alkitab, esensi dari pandangan tersebut berbeda dengan posisi Calvin.
Sedangkan bagi kalangan yang "gemar" berglosolalia, menikmati penglihatan, sampai kepada mereka yang senang bertumbangan dalam Roh, dibedah oleh Roh, muntah-muntah di dalam Roh, bahkan cekikikan dalam Roh, Alkitab menurut pandangan Calvin di atas hanyalah "pelengkap penderita" atau "catatan kaki" bagi usaha pelegitimasian atau pengesahan pengalaman mereka. Tidak heran kalau pada akhirnya Alkitab sebenarnya tidak atau kurang dihargai di kalangan tersebut.
Esensi teologi Reformasi, sekali lagi, terletak pada kesetiaan terhadap prinsip Alkitab tersebut. Menurut Calvin, Alkitab ialah sumber wahyu satu-satunya di dalam kekristenan, dan karena itu, "message" atau berita dari berita Injil hanya dapat ditemukan di dalam atau di balik teks Alkitab. Maksudnya, kebenaran apa pun yang Allah ingin sampaikan kepada manusia (apalagi hal yang penting seperti keselamatan), arti sesungguhnya hanya ditemukan di dalam Alkitab. Karena itulah, di dalam seluruh "Institutio"-nya ia menulis dengan dua tujuan yang jelas: pertama, memperjelas Alkitab pada seluruh bagiannya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa selama bertahun-tahun ia menulis komentari untuk setiap kitab dalam Alkitab (walaupun ternyata pada akhir hidupnya tidak semua kitab dalam Alkitab berhasil diselesaikan penafsirannya). Kedua, menyusun berita Alkitab secara sistematis dengan penjudulan yang tepat.[8] Hal ini tidak mengherankan, sebab "Institutio" bukan karya yang ia tujukan bagi para teolog atau guru besar di bidang penelitian iman Kristen, melainkan untuk pembaca Alkitab dan para pemula dalam iman Kristen.
Bersamaan dengan itu, perlu dimengerti bahwa bagi Calvin bukan hanya bagian tertentu dari Alkitab saja yang menjadi otoritas iman Kristen. Sebaliknya, Alkitab secara keseluruhan (tota Scriptura), kanon Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, ialah firman Allah yang utuh.[9] Sekalipun ia cenderung menggemari kitab Kejadian, Mazmur, Matius, Yohanes, Roma, dan 1 Korintus, ia justru terlihat mengupayakan pengajarannya secara menyeluruh dari Alkitab.[10] Meskipun Calvin adalah seorang ekseget Alkitab yang terkemuka dalam teologi Reformasi, ia menegaskan berulang-ulang: "Speak where the Scriptures speak; be silent where they are silent."[11] Sungguh, zaman sekarang ini banyak aliran yang telah bergeser terlalu jauh dari diktum di atas.
Ada kalangan yang begitu berani menceritakan pengalamannya mondar- mandir ke surga. Yang lain, sepertinya tidak ingin kalah dengan pengalaman tersebut, menceritakan tentang "darmawisata"-nya ke neraka. Masih ada lagi yang tidak mau kalah menceritakan pengalaman hebat- hebat lainnya, yang intinya kebanyakan dari pengalaman itu sudah atau berusaha melampaui apa yang ada di dalam Alkitab. Teologi Reformasi seakan-akan menegaskan proposisi ini: "Dengarlah, taatilah Alkitab, dan hindarkan spekulasi." Dengan demikian, prinsip tersebut menempatkan manusia di bawah kebenaran (mengaktualisasikan kebenaran), dan bukan manusia di atas kebenaran (mengakomodasikan kebenaran).[12] Karena Alkitab yang adalah firman Tuhan adalah kebenaran, Alkitab harus menjadi satu-satunya sumber di dalam pengajaran iman Kristen dan satu-satunya patokan atau standar bagi doktrin Kristen.
Lebih lanjut, di dalam tafsirannya terhadap Injil Yohanes, Calvin menegaskan bahwa Kristus tidak dapat dikenal secara benar dengan cara apa pun kecuali melalui Alkitab. Maksudnya, bila seseorang menolak ajaran Alkitab sebagai ajaran yang berotoritas penuh, ia sebenarnya menolak Kristus. Apabila kita bertanya kepada Calvin, bagaimana seharusnya seseorang atau gereja membaca Alkitab, ia akan menjawab dengan tegas: kita harus membaca Alkitab secara kristologis dan kristosentris. "First then, we must hold that Christ cannot be properly known from anywhere but the Scriptures. And if that is so, it follows that the Scriptures should be read with the aim of finding Christ in them."[13] Perhatikan bagaimana esensialnya keberadaan dan kepentingan Alkitab di mata Calvin; baginya Alkitab dan Kristus tidak dapat dipisahkan.
Jadi dapat disimpulkan, bagi gereja Reformasi yang ada dan melayani di zaman modern ini, pengakuan dan disposisi Calvin tersebut harus tetap berlaku. Esensi pengajarannya adalah: gereja tidak boleh mengabaikan, apalagi membuang, pengajaran Alkitab karena Alkitab merupakan otoritas satu-satunya yang menentukan hidup matinya pengajaran gereja. Bukan itu saja, Alkitab menentukan pengenalan gereja akan Juru Selamat satu- satunya, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Maka pada waktu seseorang menyimpang dari Alkitab, saat itu juga hidupnya menyimpang dari Kristus.
RELEVANSI TEOLOGI REFORMASI
Pada bagian sebelumnya, kita telah melihat bahwa Calvin bukanlah seorang teolog yang berbicara "di atas angin," melainkan ia pertama- tama adalah seorang gembala, pengkhotbah, pengajar yang sangat "down to earth" (realistis). Di sinilah kita melihat relevansi yang paling pertama dan utama bagi gereja Reformasi zaman modern, yaitu gereja harus menerapkan pendidikan dan pengajaran yang sederhana kepada para anggotanya persis seperti yang pernah dilakukan oleh Calvin sendiri karena tradisi Reformasi yang paling menonjol adalah perhatian yang serius terhadap pendidikan Kristen bagi anggota jemaat.
Kebanyakan pihak setuju bahwa penginjilan dan usaha misionaris yang memenangkan banyak jiwa adalah usaha yang esensial; tetapi pendidikan dan pembinaan terhadap warga gereja adalah usaha yang tidak kalah pentingnya. Usaha tersebut tidak terbatas pada pengajaran di kelas katekisasi, sekolah minggu, kelas pembinaan khusus, melainkan lebih jauh lagi sampai menjangkau pembinaan di kampus, sekolah teologi, lembaga Kristen, bahkan yang lebih penting lagi, pembinaan melalui literatur Kristen.[14] Dengan demikian, "Christian scholarship" seperti yang pernah diupayakan oleh Abraham Kuyper, dapat merambah ke segala bidang. Gereja tidak boleh melupakan usaha besar yang pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh besar seperti J. H. Bavinck, Herman Dooyeweerd, D. H. Th. Vollenhoven, James Orr, J. Gresham Machen, C. Van Til, Pierre Marcel, dan yang lainnya, yang pernah mengabdikan diri serta memperkembangkan suatu pendekatan yang tetap setia kepada tradisi Reformasi di dalam berbagai bidang. Usaha besar seperti inilah yang perlu dihidupkan kembali pada zaman sekarang.
Bagi gereja di Asia pada umumnya, dan gereja di Indonesia khususnya, tampaknya penerapan terhadap pendidikan agama Kristen dan gerakan penghargaan terhadap Alkitab tidaklah terlalu sulit. Mengapa? Karena kita melihat bangsa Timur lebih mudah beradaptasi dengan hal-hal yang bersifat panutan dan tradisi. Orang Timur juga lebih mudah menyesuaikan diri dengan pola pengajaran yang bersifat patriarkat dan seminal. Selain itu, kebanyakan gereja di Indonesia dimulai dan bertumbuh melalui pekerjaan misi dari Eropa yang menekankan tradisi Reformasi. Hanya pertanyaannya, apakah tradisi yang baik itu (penekanan pada pendidikan Kristen dan penghargaan terhadap Alkitab) tetap mendapatkan prioritas utama di dalam agenda pelayanan gereja? Pertanyaan mendasar ini perlu dijawab oleh gereja-gereja di Indonesia yang menerima landasan teologi Reformasi sebagai azas beriman dan azas bergerejanya.
Kedua, hal lain yang tidak kalah penting dengan di atas ialah, selain pendidikan Kristen, tradisi Reformasi juga menjunjung tinggi sentralitas pemberitaan firman Allah, baik untuk penginjilan, pengajaran, maupun aplikasi pastoral. Gereja di Asia dan Indonesia yang bertumbuh dengan benar dan baik pastilah merupakan gereja yang menghargai pemberitaan firman dengan pengupasan yang tepat tentang isi Alkitab. Sebaliknya, bila pemberitaan gereja hanya mengumandangkan ajaran-ajaran moral yang umum, ideologi-ideologi politis, atau terapi- terapi sosiologis, psikologis, dan seterusnya, dan tidak memberitakan ajaran Alkitab yang adalah firman Allah, gereja tersebut akan mengalami kemerosotan di dalam pemahaman yang benar dan tepat terhadap firman Allah.
Ketiga, teologi Reformasi yang sehat bukan menekankan pemberitaan kerugma saja, tetapi juga memberi penekanan yang benar tentang tanggung jawab sosial yang berdasarkan pada pengajaran Alkitab.[15] Calvin jelas pernah mengajarkan bahwa jabatan dan fungsi seorang diaken adalah untuk maksud seperti itu, yakni untuk menjadi administrator dan pelayan sosial. Memang benar bahwa menjadi seseorang yang setia kepada ajaran Reformasi haruslah menerapkan keyakinan tersebut di dalam segala bidang kehidupan. Dengan perkataan lain, ketuhanan Kristus yang diajarkan dalam Alkitab harus bergema di dalam setiap aspek kehidupan, baik itu aspek sosial, ekonomi, politik, seni dan lainnya.[16] Boleh dikata keberadaan gereja Reformasi di dalam dunia adalah untuk berinteraksi dengan setiap aspek dari ciptaan Tuhan. Misinya yang utama adalah untuk mengubah dunia, yaitu agar dunia mengenal, menjalani hidup, dan mempraktikkan kasih karunia Allah yang bekerja secara ajaib di dalam Yesus Kristus. Singkatnya, gereja Reformasi tidak hanya terpanggil untuk sekadar memiliki iman kepercayaan atau komitmen yang kuat, ia juga terpanggil untuk menaati dan melaksanakan misi Allah sesuai dengan ajaran Alkitab.
PENUTUP
Dunia kita sekarang ini, dengan segala ajaran yang pluralis di dalamnya, tampaknya sedang mengalami keguncangan karena manusia lebih cenderung menerima hal-hal yang bersifat relatif. Cukup banyak orang Kristen dan gereja cenderung meninggalkan paham dan tradisi lama yang kebanyakan dianggap bersifat anakronistis atau sudah ketinggalan zaman. Hal ini disebabkan oleh munculnya ideologi, -isme, dan keyakinan baru yang menyaingi kepercayaan yang lama. Lebih daripada itu, kepercayaan yang baru seakan-akan lebih mengena dan pragmatis sifatnya dalam memberikan jawaban untuk mengatasi kebingungan manusia modern. Bahkan banyak ajaran yang baru seolah-olah telah sanggup secara total mengatasi problema manusia di dalam hal dosa, sakit penyakit, dan memberikan arti kehidupan yang baru.
Pada saat seperti inilah dunia kekristenan memerlukan tuntunan dan pengarahan yang sesuai dengan ajaran Alkitab. Pengajaran dan pelayanan gereja yang berbobot sangat esensial serta menentukan sekali untuk memberi arah kepada manusia agar tidak dibingungkan oleh rupa-rupa angin pengajaran yang palsu. Itu sebabnya, pandangan dari teologi Reformasi yang diterapkan menjadi program yang sistematis untuk pendidikan, pemberitaan firman, dan pengajaran melalui gereja adalah sesuatu yang integral dengan konsepsi dari Calvin tentang kehidupan Kristen yang benar. Mengabaikan hal ini berarti sama saja dengan melepaskan sebuah kesempatan yang tak ternilai untuk menggarami kehidupan jemaat di gereja dan umat manusia di dunia ini.
Footnote: --------- *Artikel ini pernah diterbitkan dalam buku "Perjuangan Menantang Zaman" (ed. Hendra G. Mulia; Jakarta: Reformed Institute, 2000) 3-16, dan dimuat dengan izin tertulis dari Reformed Institute Press tanggal 5 Juni 2001.
1. Untuk melihat ringkasan sejarah Reformasi, lih. J. E. McGoldrick, "Three Principles of Protestantism," Reformation & Revival Journal 1/1 (Winter 1992) 13-15; W Stevenson, The Story of the Reformation (Richmond: John Knox, 1959) 29-49; H. J. Hillerbrand, The Protestant Reformation (NY: Harper Torchbooks, 1968) xi-xxvii. Mengenai Luther dan sejarah hidupnya, lih. H. A. Oberman Luther: Man Between God and the Devil (New Haven: York University Press, 1982) 3-206; M. Brecht, Martin Luther: His Road to Reformation 1483-1521 (Minneapolis: Fortress, 1985).
2. Calvin: Institutes of the Christian Religion (ed. J. T McNeill; LCC; 2 vols.; Philadelphia: Westminster, 1960).
3. Lih. pujian dan deskripsi terhadap Institutio oleh W Cunningham, The Reformers and the Theology of the Reformation (Edinburgh: Banner of Truth, 1989) 294-296.
4. Menurut J. L. Mays, ketika menuliskan tafsiran Mazmur pun, Calvin menulisnya guna kepentingan jemaat Tuhan, bukan untuk para scholars ("Calvin`s Commentary on the Psalms: The Preface as Introduction" dalam John Calvin and the Church: A Prism of Reform [ed. T George; Louisville: Westminster/John Knox, 1990] 197).
5. Istilah ini diadopsi dari artikel F. H. Klooster, "The Uniqueness of Reformed Theology," Calvin Theological Journal 14/1 (April 1979) 39; bdk. J. F. Peter, "The Place of Tradition in Reformed Theology," Scottish Journal of Theology 18/3 (1965) 294-307. (Dalam beberapa segi pemikiran dasar untuk artikel ini penulis berhutang banyak pada kedua tulisan tersebut.) Perlu dicatat bahwa istilah "the Scriptural principle" di atas berbeda pengertiannya dengan K. Barth ("The Scripture Principle" dalam The Gottingen Dogmatics: Instruction in the Christian Religion [Grand Rapids: Eerdmans, 1991] I: 201-226).
6. J. D. Gort, "The Contours of the Reformed Understanding of Christian Mission," Calvin Theological Journal 15/1 (April 1980) 49.
7. Dikutip dari J. H Leith, Introduction to the Reformed Tradition (Atlanta: John Knox, 1977) 101.
8. Institutes 4, Intro. ix; bdk. pendapat R. C. Gamble, "Exposition and Method in Calvin," Westminster Theological Journal 49 (1987) 153- 165, khususnya kesimpulan h. 164.
9. Menurut D. H. Kelsey (The Uses of Scripture in Recent Theology [Philadelphia: Fortress, 1975]), hampir setiap teolog Protestan modern (seperti B. B. Warfield, K. Barth, R. Bultmann, P. Tillich) selalu ingin menyesuaikan teologinya dengan isi Alkitab dalam batas-batas tertentu; tetapi menurut Kelsey, masing-masing dari mereka hanya menampilkan aspek tertentu saja dari Alkitab yang dianggap berotoritas; jadi, bukan Alkitab secara menyeluruh.
10. Leith, Introduction 103.
11. Dikutip dari Klooster, "The Uniqueness" 39.
12. Istilah H. Thielicke, The Evangelical Faith (Grand Rapids: Eerdmans, 1977) 1:27.
13. J. Calvin, The Gospel According to St. John 1-10 (repr. ed.; Grand Rapids: Eerdmans, 1961) 139, yaitu tafsiran terhadap Yoh. 5:39; lih. juga K. Runia, "The Hermeneutics of the Reformers," Calvin Theological Journal 19/2 (November 1984) 144; dan W Niesel, The Theology of Calvin (Philadelphia: Westminster, 1956) 27. Sama dengan hal itu, Calvin juga menegaskan bahwa Alkitab harus menjadi otoritas yang manunggal dengan kehidupan gereja. Hal ini bukan hanya bertalian dengan pemberitaan gereja semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan seluruh aspek kehidupan dan pelayanan gereja.
14. Lih. juga penekanan yang mirip dengan di atas dari D. K. McKim, "Reformed Perspective on the Mission of the Church in Society," Reformed World 38/8 (1985) 405-421; bdk. D. H. Bouma "Sociological Implications for Reformed Christianity," Reformed Review 2/2 (1966) 50-63; O. Fourie, "Thinking Biblically; Education: Whose Responsibility?," Calvinism Today 3/1 (January 1993) 24-29; R. S. Wallace, Calvin, Geneva and the Reformation: A Study of Calvin as Social Reformer, Churchman, Pastor and Theologian (Grand Rapids: Baker, 1988) 131-218; E. H. Harbison, "Calvin" dalam The Christian Scholar in the Age of the Reformation (New York: Charles Scribner`s Sons, 1956) 145-146.
15. Perh. himbauan dari K. Runia, "Evangelical Responsibility in A Secularized World," Christianity Today 14/19 (1970) 851-854; bdk. P. F. Scotchmer, "Reformed Foundations for Social Concern," Westminster Theological Journal 40/2 (1978) 318-349; W. J. Bouwsma, John Calvin: A Sixteenth Century Portrait (NY: Oxford University Press, 1988) 191- 203, dan R. M. Kingdon, "Calvinism and Social Welfare," Calvin Theological Journal 17/2 (November 1982) 212-230.
16. Ketuhanan Kristus dalam gereja Reformasi bukan hanya menuntut gereja terus-menerus diperbarui secara internal (ecclesia reformata semper reformanda), melainkan juga memperbarui masyarakat dunia dan kebudayaan (sempersocietas reformanda); lih. J. Verkuyl, Theology of Transformation, or Towards a Political Theology (Johannesburg: The Christian Institute of Southern Africa, 1973) 2.
Diambil dari:
Judul majalah : Veritas; Jurnal Teologi dan Pelayanan (Vol. 2 No. 2)
Judul artikel : Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi
Penulis : Daniel Lucas Lukito

Yohanes Pembaptis : Pelita Yang Terpasang Dan Bercahaya

Yohanes Pembaptis : Pelita Yang Terpasang Dan Bercahaya
Penulis_artikel:
Pdt. DR. Stephen Tong
Isi_artikel:
Dalam Dia (Yesus) ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya. Datanglah seorang yang diutus Allah, namanya Yohanes; ia (Yohanes) datang sebagai saksi untuk memberikan kesaksian tentang terang itu, supaya oleh dia semua orang menjadi percaya." (Yohanes 1:4-7). "Ia adalah pelita yang menyala dan bercahaya." (Yohanes 5:35) Terjemahan lain mengatakan, "Ia menjadi pelita yang menyala dan bercahaya." "Ia merupakan satu pelita yang sudah disulit, yang sudah terpasang dan sekarang bercahaya."
Yohanes Pembaptis merupakan seorang yang mengagumkan dan menjadi teladan bagi setiap orang yang mau melayani Tuhan. Ia mempunyai posisi yang paling unik. Ia adalah nabi terakhir dalam Perjanjian Lama, tetapi juga nabi pemula dalam Perjanjian Baru. Ia mengakhiri seluruh Perjanjian Lama, dan merintis Perjanjian Baru. Melalui Yohaneslah segala yang dinubuatkan nabi-nabi Perjanjian Lama menjadi suatu puncak pernyataan yang jelas tentang Mesias kepada manusia. Melalui Yohanes juga seluruh jaman setelah Kristus dapat melihat bahwa dialah yang memberi petunjuk untuk jaman selanjutnya bahwa Kristus membuka Perjanjian Baru dengan darah yang dicurahkan, "Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia." (Yohanes 1:29). Ucapan ini mengakhiri nubuat dan ucapan para nabi mengenai Kristus dalam Perjanjian Lama dan membuka satu jalan baru supaya orang-orang dalam Perjanjian Baru dan dalam sejarah melihat bahwa Yesus adalah sungguh Domba yang disembelih, seperti yang dilambangkan pada hari Paskah dalam Perjanjian Lama.
Siapakah Yohanes? Ia bersaksi bagi Terang tetapi mengaku bahwa ia bukan Terang itu. Siapakah Yohanes? Ia bersaksi bagi Kebenaran dan ia mengetahui bahwa ia bukan Kebenaran itu sendiri melainkan Kristus. Siapakah Yohanes? Ia bersaksi bagi Mesias tetapi ia mengakui bahwa ia bukan Mesias. Ia hanya seorang yang merintis jalan bagi kedatangan Sang Mesias. Yohanes begitu mengenal keberadaannya sendiri. Ia yang agung, besar, dipenuhi Roh Kudus, tetapi juga begitu rendah hati. Orang yang agung tidak angkuh. Orang yang angkuh selalu tidak agung. Semakin besar jiwa seseorang, semakin tinggi rohaninya, yang selalu merasa kurang dan tidak cukup secara paradoks. Orang yang merasa diri cukup adalah orang yang kurang rohani dan kurang agung. Yohanes adalah orang yang begitu rendah hati sampai ia pernah mengatakan satu kalimat, yang boleh disebut sebagai pepatah emas yang harus diukir dengan pena mas dan tinta mas, "Membuka tali kasutNya (Mesias) pun aku tidak layak." (Yohanes 1:27). Seorang pelayan yang mengambil kemuliaan tuannya adalah pelayan yang kurang ajar. Ketika ada hamba Tuhan atau pemimpin gereja yang mengambil alih kuasa Allah dari takhtaNya dengan menganggap diri setara dengan Allah, menerima hormat manusia mengganti Allah, di sanalah mulai kegagalan dalam pelayanan.
Pada jaman itu dianggap ada dua orang besar yaitu Yohanes dan Yesus. Yohanes tidak berkhotbah di mimbar terkenal atau di gedung besar di Yerusalem. Ia berkhotbah dan menegakkan mimbar yang ada di padang belantara. Ia tidak tahu siapa yang akan datang tetapi ia tahu bahwa ia mempunyai firman yang harus disampaikan dan Roh Kudus memenuhinya. Sehingga padang belantara menjadi terlalu ramai karena ribuan orang datang. Ia tidak perlu merebut suatu kemuliaan tetapi tahu bagaimana bersaksi dan memberitakan firman Tuhan. Di tempat Roh Kudus turun, di sana tanah yang kering dan gersang menjadi sawah yang subur. Allah yang sejati adalah Allah yang membuka jalan di tengah laut. Allah yang menyediakan satu jalan lapang di tengah padang belantara. Allah yang mematahkan segala rantai dan belenggu, halangan pintu besi maupun tembaga. Yohanes Pembaptis disebut sebagai saksi yang diutus oleh Allah (The Witness send by God). Seorang yang bersaksi, berarti kesaksiannya dan saksi itu sendiri merupakan utusan Allah. Seorang yang diutus Tuhan untuk memberitakan kebenaran. Dari mulut Yesus Kristus sendiri keluar satu kalimat indah tentang Yohanes bahwa ia adalah pelita yang terpasang dan bercahaya.
Saat manusia memandang Yohanes dan Yesus sama besar, Yesus tahu siapa diriNya dan siapa Yohanes. Yohanes pun tahu siapa Yesus dan siapa dia. Orang luar hanya melihat secara lahiriah tetapi kedua orang ini melihat ke dalam jiwa mereka. Yohanes Pembaptis mengatakan bahwa apa yang mereka nilai itu salah, ia terlalu kecil dan Yesus terlalu besar. Yohanes adalah pelita yang terpasang dan bercahaya, yang menyinarkan untuk seketika akan Terang itu. Tetapi Yesus adalah Terang yang sesungguhnya. Jika Yesus adalah matahari maka Yohaneslah bulan yang memantulkan cahaya matahari itu. Setiap kali kita melihat cahaya asli dari Kristus, kita harus ingat yang memantulkan itu hanya sekejab mata, sebagai pelita yang hanya memberikan sedikit kesaksian untuk sekejab waktu saja. Kembali kepada Kristus itu menjadi hal yang penting. Siapakah Billy Graham, Luis Palau, Stephen Tong? Hanya seorang saksi saja. Kita tidak menjadi pengikut manusia tetapi pengikut Kristus. Agustinus memberikan satu kalimat yang menjadi contoh bagi setiap hamba Tuhan dalam sejarah, "Jikalau engkau menemukan tulisan atau khotbah saya sesuai dengan Alkitab, buanglah saya kembali sesuai dengan Firman." Itulah keagungan sejati seorang hamba Tuhan, yang jujur melayani Tuhan.
Yohanes Pembaptis menjadi pelita yang terpasang dan bercahaya bukan melalui mulutnya sendiri. Sebutan yang indah ini keluar dari mulut Yesus bahwa ia adalah pelita yang terpasang dan bercahaya. Di sini terlihat tiga macam pelayanan
1. Sudah menjadi pelita
2. Mau terpasang
3. Mau terus bercahaya. Ada orang yang sudah menjadi pelita tetapi tidak mau terpasang.
Ada orang yang sudah terpasang tetapi tidak mau bercahaya terus.
Pelita itu merupakan suatu wadah. Dipasang itu merupakan suatu tindakan untuk memulai pelayanan. Bercahaya adalah satu konsistensi dari kesaksian yang terus berjalan. Pelita seperti bola lampu, lalu pasang itu seperti listrik atau minyak atau api yang sudah dinyalakan dan bercahaya berarti segala hambatan sudah disingkirkan sehingga terang itu boleh sampai ke tempat yang lain.
Istilah kesaksian yang dipakai oleh Alkitab bukan terbentuk dari kata kerja melainkan kata benda, "Ye must be the witness of Me, ye are My witnesses. "Kamu adalah saksi-saksiKu." Jadi istilah kesaksian berbeda dengan gerakan Kekristenan dalam jaman ini. Pengertian sekarang, ada orang yang berbicara dan kita mendengar. Kesaksian itu bukan cerita, bukan pengalaman. Kesaksian sebenarnya adalah satu kedudukan menjadi saksi Kristus (the position of the witness of God). Sesudah itu baru saksi itu mengeluarkan kalimat untuk menyatakan kedudukannya, itu arti bersaksi.
Dalam Yohanes 1:6 dikatakan seorang yang dikirim oleh Allah, bersaksi bagi Terang itu. Dalam 5:35 Yesus mengatakan ia adalah pelita yang terpasang berarti setelah ia memiliki kedudukan sebagai saksi, baru ia bersaksi. Alkitab mengatakan Ye are the witnesses of My resurrection, kamu adalah saksi kebangkitanKu. Dalam bersaksi bukan pengalaman kita yang dipentingkan melainkan kebenaran bahwa Kristus yang mati dan bangkit, menjadi satu-satunya pengharapan untuk penginjilan seluruh dunia.
Dulu kamu adalah alat setan, yang memihak kepada iblis dan kegelapan. Sekarang kedudukanmu diubah. Posisimu sekarang adalah saksi Tuhan. Yohanes adalah pelita yang terpasang dan bercahaya. Berarti selain ia sudah mempunyai kedudukan itu, ia mau disulut. Dia mau diberikan satu permulaan yang tidak berasal dari dirinya sendiri. Sebuah kesaksian menuntut kesungguhan dalam hidupmu. Bukan hanya perkataanmu tetapi hidupmu sungguh sesuai dengan kebenaran, baru mulutmu pun menjadi alat kebenaran. Celakalah orang yang mengeluarkan suatu perkataan dengan tidak mempunyai kesungguhan; yang mengeluarkan kalimat yang bukan menjadi kepercayaannya.
Yohanes menjadi saksi yang akhirnya betul-betul mati karena kesungguhannya menjadi pelita. Ia adalah pelita yang terpasang dan bercahaya. Jika pelita disimpan ia tidak perlu mati karena tidak dibakar dan tidak bercahaya. Pelita yang terpasang dan bercahaya akan mati.
Peribahasa Tionghoa mengatakan di tengah kemewahan tidak jatuh dalam perzinahan dan tidak menjual diri; di dalam kemiskinan dan kepicikan tidak berubah hati; di bawah kuasa dan otoritas yang paling besar tidak menaklukkan diri. Inilah mutu watak Kekristenan yang harus kita perjuangkan. Berapa banyak orang yang berkata-kata dengan muluk-muluk, tinggi-tinggi, syair yang indah tetapi pada waktu godaan tiba, langsung berubah arus, waktu miskin langsung kejujuran hilang. Mungkinkah engkau memelihara dirimu di tengah kesulitan, di tengah kepicikan, di tengah kemiskinan namun tetap jujur dan tidak berubah pendirian, bisa tetap berpegang pada prinsip-prinsip kejujuran dan kesucian. Bisakah engkau memelihara diri di tengah kekayaan dan kemewahan dan tidak sembarangan menghancurkan diri, berzinah dan melakukan tindakan yang amoral? Bisakah engkau menahan diri waktu diberi ancaman? Bisakah di bawah otoritas kuasa politik yang besar engkau tidak takluk dan tidak berkompromi? Itulah kesaksian yang menyatakan mutu seseorang.
Ada pepatah yang mengatakan, Kalau jalan tidak jauh, tidak tahu tenaga kuda. Kalau hari tidak panjang tidak diketahui tenaga dan hati manusia. Dalam jangka waktu panjang baru dapat diketahui kondisi hati seseorang. Ketika ujian datang baru diketahui bagaimana kesetiaanmu. Ketika jarak pendek kelihatan semua kuda sama kuat. Tetapi setelah menempuh jarak jauh baru terlihat kekuatan masing-masing. Setelah berpuluh-puluh tahun baru kelihatan kekonsistenan seseorang. Tuhan tidak melihat permulaan. Dalam permulaan terlalu banyak orang yang mengatakan, Saya sungguh bersedia mati bagi Tuhan. Setelah itu konsistensi sangat penting. Tuhan ingin kita mempunyai waktu pelayanan yang konsisten dan sungguh-sungguh. Ketika saya menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan saya berkata, "Peliharalah saya sampai mati, kesungguhan, pengabdian, kesetiaan sampai mati. Saya minta Tuhan peliharakan." Bila waktu tidak panjang tidak akan diketahui kesetiaan seseorang. Kalau ujian tidak berat, tidak ketahuan ketahanan seseorang. Bersyukurlah kalau Tuhan mengijinkan kau mengalami ujian berat, menandakan bahwa Ia percaya kepadamu dan akan memakai engkau lebih berat lagi. Jangan melarikan diri dari kesulitan, dari kesulitan, kepicikan, kemiskinan, yang seringkali diartikan senjata- senjata dari setan dan kutukan Allah. Tetapi kadang Tuhan memperbolehkan engkau dikutuk orang lain, diberi penyakit, mengalami bahaya, mengalami kesulitan. Ketika semua ini diijinkan datang, jangan memaki Tuhan. Pertama, koreksi diri apakah ada dosa yang perlu kau akui di hadapan Tuhan. Purify yourself. Intropeksi diri, bila ada kesalahan bertobat dan Tuhan akan memberkati engkau. Tidak semua sengsara dari setan, tidak semua kegagalan dari iblis. Kadang itu merupakan ujian dari Tuhan. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa Ujian akan memberikan ketekunan yang luar biasa sehingga engkau boleh dipakai lebih hebat daripada waktu-waktu yang lalu. Yohanes Pembaptis dipenuhi Roh Kudus tetapi hidupnya tidak lancar. Berapa lama ia melayani? Alkitab tidak mengatakan dengan jelas, mungkin tidak sampai satu tahun, lalu kepalanya dipenggal. Sejak dalam kandungan ia sudah dipenuhi Roh Kudus, tetapi mengalami kematian yang tragis. Kematian Yohanes adalah kehendak Tuhan. Apakah ini berarti Allah tidak Mahakuasa? Bukan. Mengapa Tuhan tidak menyelamatkan nyawanya? Tidak mendengar doanya? Ketika Yohanes mengutus orang datang kepada Yesus untuk bertanya, "Engkaukah Mesias atau kami harus menanti yang lain?" Tidak ada satu kegagalan yang lebih besar lagi daripada Yohanes yang mempertanyakan pertanyaan yang begitu mengerikan. Bukankah dia yang memberitakan Yesus? Bukankah dia yang memberikan pernyataan pada jamannya, "Inilah Kristus, Anak Domba Allah"? Tetapi pada waktu dalam kepicikan, imannya goncang. "Tuhan, Engkau melihat aku sebagai rekanMu yang masuk penjara tetapi mengapa tidak ditolong? Apakah Engkau tidak melihat air mata dan kesengsaraanku? Di mana kuasaMu sebagai Mesias? Dulu aku bersaksi mengenai Engkau adalah Anak Domba Allah tetapi ketika aku sakit Engkau membiarkan aku, waktu aku di penjara Engkau tidak datang menjenguk aku atau menegur Herodes." Teologi Yohanes menjadi goncang dan Kristologinya kabur. Tetapi Yesus tetap tidak menjenguk atau melepaskannya dari penjara.
Yesus tidak datang dan tidak merubah situasi tetapi mengatakan, "Barangsiapa yang tidak jatuh karena Aku berbahagialah dia." Bila engkau benar-benar saksiKu dan sekarang tidak melihat Aku menolongmu, engkau tetap tidak jatuh, maka berbahagialah engkau.
Tetapi jika engkau jatuh karena Aku, mengapa bisa jatuh karena Tuhan? Apakah Tuhan membiarkan dia mati terpelanting karena jatuh? Apakah Tuhan yang merencanakan kejatuhan dia? Yesus berkata, "Berbahagialah yang tidal jatuh karena Aku." Berarti ada kemungkinan kita jatuh karena Tuhan. Apa artinya kita jatuh karena Tuhan? Doa tidak dijawab, penyakit tidak di sembuhkan, anak yang paling dicintai, diambi Tuhan. Apa maksud Tuhan, begitu kejam?! Seseorang jatuh disebabkan ia mempunyai pengenalan yang salah terhadap Tuhan. Yesus, Kristus tidak pernah memberikan konsep-konsep yang mengacaukan pikiran kita tetapi Ia hanya, menjernihkan pikiran kita yang kacau, tidak akan mengacaukan pikiran-pikiran yang benar. Ia membawa kita kembali kepada Firman, bukan mau menyelewengkan kita untuk keluar dari prinsip-prinsip Alkitab.
Yesus menjawab Yohanes, "Engkau melihat orang buta celik, orang mati dibangkitkan, orang miskin mendengarkan Injil. Bila ini masih tidak cukup biarlah engkau jatuh karena Aku. Dan kalau ini sudah cukup, meskipun orang lain yang buta dicelikkan, yang lumpuh berjalan, yang mati bangkit, engkau tidak dibangkitkan dan tidak dikeluarkan dari penjara tetap engkau harus beriman bahwa Aku adalah Kristus." Yesus tidak melepaskan Yohanes tetapi menyuruh orang memberitahu bahwa ada orang lain yang sudah mendapat kesembuhan. Yesus tidak memberikan anugerah pada Yohanes tetapi Ia menyuruh orang memberitahu bahwa orang lain sudah mendapat anugerah. Bukankah ini siksaan batin, suatu pschycology pressure, diskriminasi yang tidak adil? Tetapi kedaulatan Allah yang terus ditekankan dalam Teologi Reformed harus kita mengerti. Bahwa Allah berhak menyembuhkan dia dan tidak menyembuhkan engkau sekarang, berhak memberi kebangkitan pada orang mati dan membiarkan engkau tetap dalam penjara dan dipenggal sampai mati, karena Dia adalah Allah. Karena Dia adalah Allah, jangan memaksa Dia untuk bekerja menurut perintahmu, itu berarti memperhamba Allah. Kalau Dia Allah biarlah Dia yang mendapat kemuliaan yang terbesar melalui segala sesuatu menurut kehendak Dia sendiri. Yohanes Pembaptis tidak dilepaskan dan akhirnya mati. Pada waktu ia mati apakah ia menyangkal? Tidak. Setelah dia mendengar jawaban dan mengerti, ia setia sampai mati.
Yohanes memberikan lima teladan yang indah. Pertama, ia dipenuhi Roh Kudus. Menjadi pelita yang terpasang berarti harus mempunyai minyak. Sebelum ada listrik pelita adalah suatu benda yang bentuknya sebagai wadah minyak yang ada tutupnya, dan dipinggir diberi sumbu yang keluar dari mulut pelita untuk menyalurkan minyak itu ke atas lalu membakar jika ia adalah sumbu yang terpasang dan menyala karena ada minyak. Orang yang mau melayani Tuhan, yang benar-benar mau menyatakan terang, harus dipenuhi Roh Kudus. dipenuhi Roh Kudus berarti buah-buah Roh akan mengalir keluar. Kalau Roh memenuhi engkau Kristus akan diberitakan. Pada waktu Roh itu memenuhi engkau maka hidupmu dipenuhi kesucian, tidak menghitung untung rugi tetapi memikirkan kemuliaan Tuhan.
Kedua, ia menjadi pelita yang terpasang dan menyala karena ia melayani Tuhan dengan prinsip yang penting seumur hidup. Ini dinubuatkan pada waktu kelahirannya yaitu kesucian dan keadilan. Pelayanan yang suci tetapi tidak adil adalah pelayanan yang timpang. Pelayanan yang adil tetapi tidak suci adalah usaha membereskan segala sesuatu tapi pada dirinya tidak mempunyai sifat ilahi yang jelas, moral Allah. Hidup suci yaitu tidak berkompromi untuk menghadapi segala sesuatu yang tidak beres, dosa dan segala kecemaran dalam diri kita. Keadilan dan kesucian adalah dua pokok pelayanan. Kalau saya hidup tidak suci dan menghadapi orang dengan tidak adil saya tidak mungkin menjadi pemimpin. Hidup suci berarti takut akan Tuhan Allah dan benar-benar sesuai dengan kehendakNya, tidak dicemari oleh dosa sehingga ada kuasa. Keadilan membuat kita bisa menghadapi segala macam orang. Adakah senyummu hanya untuk orang-orang tertentu yang agak kaya, agak mewah, agak ada kedudukan? Tetapi selalu ada paras yang lain pada yang miskin? Adakah engkau mempunyai tanggapan yang berlainan dengan orang yang begitu dihargai dan dihormati di masyarakat dan selalu ada kekerasan terhadap mereka yang dipandang ringan di masyarakat?
Ketiga, Yohanes menjadi pelita yang terpasang dan bercahaya karena ia mempunyai keberanian, salah satu pusaka yang besar dalam pelayanan kita. Kalimat-kalimat yang seharusnya kamu katakan pada waktu dan tempat yang seharusnya, tetapi tidak dikatakan berarti kehilangan kesempatan. Berbicara pada tempat, waktu yang tepat barulah itu seorang hamba Tuhan. Berani berkata pada orang yang perlu dan saat yang perlu di tempat yang sudah Tuhan berikan bagimu berarti sejarah ditenun bersama dengan kebenaran. Jika pada saat itu engkau tidak lakukan yang seharusnya maka tenunan kebenaran dengan sejarah itu lepas. Yohanes adalah orang yang menulis dan menenun kalimat penting dalam sejarah melalui keberanian yang Tuhan berikan. Jikalau bukan Yohanes tidak ada orang yang berani menegor Herodes. Jika tidak ada Yohanes tidak ada orang yang memberi tahu siapakah Yesus. Jika bukan Yohanes tidak ada orang yang berani memberikan kritik kepada pemimpin agama yang tidak beres. Kronos telah dijadikan kairos oleh Yohanes. Karakter agung dari seorang hamba Tuhan sering terbentuk pada waktu ia harus berkata dan sesudah ia berkata. Bila prinsip ini diabaikan ia akan menjual diri sebagai anak sulung yang tidak lagi mempunyai kuasa. Martin Luther dipaksa untuk membongkar dan membakar semua buku yang pernah ditulisnya. Tetapi ia berkata, "Di sini saya berdiri di atas firman Tuhan. Kecuali kalian membuktikan apa yang saya katakan dalam buku saya tidak berdasarkan firman maka saya tidak akan menarik kembali semua buku yang saya tulis. Inilah momen yang menenun kebenaran bersama sejarah.
Keempat, kesaksiannya selalu ditujukan kepada Kristus. Ia tidak meninggikan diri, tidak meninggikan pengalaman, tetapi kesaksiannya ditujukan kepada Kristus. Alkitab berkata, "Ia diutus untuk bersaksi bagi kebenaran supaya orang bisa percaya." (Yohanes 1:6). Tidak satu kali pun mujizat dilakukan oleh Yohanes. Tetapi banyak orang menjadi percaya karena dia. Di sini prinsip Alkitab menyatakan bahwa iman tidak didasarkan pada suatu pengalaman mujizat. Iman harus didasarkan pada firman. Dari mana datang iman? Dari pendengaran. Dan pendengaran datang dari firman Allah. Inilah prinsip Alkitab yang tidak pernah berubah dan tidak pernah putus, dari alfa sampai omega. Tuhan Yesus melakukan mujizat tetapi tidak pernah berkata hanya melalui itu kamu beriman. Tuhan berkata iman berdasarkan firman. Jika kesaksian senantiasa berpusat pada Kristus maka ia bukan memakai keajaiban kuasa tetapi dengan keberanian menyaksikan Kristus, menegur dosa dan membongkar hati nurani manusia, supaya orang bertobat.
Kelima, ia adalah pelita yang bercahaya dan terpasang dengan syarat ia konsisten, terus membiarkan diri dibakar sampai habis. Lilin yang bercahaya, setiap detik dalam bercahaya, berarti setiap detik ia menghancurkan diri. Makin lama makin pendek. Bila ia tidak melelehkan diri, tidak menghancurkan diri, tidak mungkin bisa terus menerus bercahaya. Ketika Yesus berkata bahwa ia adalah pelita yang terpasang dan bercahaya berarti dia sedang mengorbankan diri. Matahari harus meledakkan bahan yang ada pada dirinya sendiri, setiap detik kira-kira enam puluh juta ton supaya matahari tetap bercahaya dan kita tetap mempunyai kehangatan seperti di atas bumi. Untuk satu detik enam puluh juta ton. Betapa besar bahan matahari untuk bertahan berpuluh-puluh ribu tahun sehingga dunia ini mempunyai sinar cahaya sedemikian. Sepanjang sejarah Kekristenari kalau orang Kristen mau bercahaya dan bila saksi-saksi mau terpasang dan bercahaya tidak ada jalan lain, yaitu rela berkorban diri bagi Kristus. Pengorbanan yang terus menerus menjamin terang itu terus menerus menyala, bercahaya. Maukah engkau terjun, berbagian dan melibatkan diri menjadi saksi Tuhan?
Sumber: Majalah Acts dan Facts,

INTRODUKSI PADA IMAN REFORMED

INTRODUKSI PADA IMAN REFORMED
Oleh: John M. Frame(1)
(Bagian 1)
PENDAHULUAN
Ketika pertama kali saya datang ke Seminari Westminster sebagai mahasiswa (1961), sebagian besar mahasiswa berlatar belakang Reformed. Banyak mahasiswanya telah mendapatkan pengajaran di sekolah-sekolah dan universitas-universitas Calvinistis;(2) bahkan telah mempelajari katekismus dan pengakuan-pengakuan iman Reformed. Hari ini hal itu jarang ditemui. Semakin banyak mahasiswa yang datang ke Westminster berasal dari latar belakang non-Reformed, malahan ada yang baru mengalami pertobatan. Mereka yang berasal dari latar belakang Reformed pun tidak selalu mengetahui katekismus mereka dengan baik.
Banyak mahasiswa Westminster ketika baru pertama kali datang bahkan tidak mengerti dengan jelas posisi doktrin Westminster. Mereka tahu bahwa Westminster memegang kuat pandangan otoritas Alkitab dan ineransi; mereka tahu bahwa Westminster berpegang pada doktrin-doktrin fundamental kekristenan evangelikal. Mereka juga tahu bahwa kami menjelaskan dan memertahankan doktrin-doktrin ini secara kesarjanaan yang superior. Namun, kadang-kadang tidak semua menyadari kenyataan bahwa Westminster adalah sebuah institusi pengakuan iman, yang menganut tradisi doktrinal historis tertentu, yaitu iman Reformed.
Saya sangat bergembira semua murid ini ada di sini! Saya sangat senang karena Westminster menarik murid-murid yang berasal jauh di luar lingkaran pengakuan iman normal kami. Tetapi kehadiran mereka mengharuskan adanya beberapa pengajaran yang sangat mendasar mengenai posisi doktrin seminari ini. Memperkenalkan para mahasiswa pada iman Reformed sedini mungkin di awal karier mereka di seminari merupakan hal yang esensial. Iman Reformed itu yang memberikan energi dan mengarahkan semua pengajaran di sini. Murid-murid harus siap untuk itu. Untuk kepentingan itulah esai ini ditulis.
Saya juga memiliki alasan lain untuk menulis introduksi ini. Ketika Saudara memulai studi di seminari, Saudara akan melihat bahwa ada berbagai variasi di dalam tradisi Reformed secara umum. Saudara akan belajar tentang "hyper-Calvinism", "theonomy", "antinomianism", "presuppositionalism", "evidentialism", "perspectivalism", "traditionalism", dan lain-lain. Beraneka ragam nama yang dipakai untuk menyebut diri kita sendiri dan untuk menyebut orang lain. Bukan hal yang selalu mudah untuk menentukan siapa yang "Reformed sejati" dan siapa yang bukan, atau yang lebih penting lagi, siapa yang "benar- benar alkitabiah". Dalam tulisan ini, paling sedikit, saya ingin memerlihatkan kepada Saudara di mana saya berpijak dalam tradisi Reformed dan memberikan sedikit bimbingan serta menolong Saudara untuk menemukan arah melewati keragaman ini.
Tulisan ini hanyalah suatu "introduksi" kepada iman Reformed, jadi bukan merupakan suatu analisis yang mendalam. Namun, jelas tetap bermanfaat untuk mengetahui gambaran sekilas pada saat awal studi Saudara. Bersama-sama dengan tulisan ini, saya mengharapkan Saudara membaca Pengakuan Iman Westminster, Larger dan Shorter Catechism, serta "tiga bentuk kesatuan" dari gereja-gereja Reformed di benua Eropa: Pengakuan Iman Belgia, Katekismus Heidelberg, serta Kanon-kanon Dordt. Semua itu merupakan ringkasan yang indah dari posisi doktrin Reformed, yang disajikan secara utuh, ringkas, dan tepat. Heidelberg adalah salah satu karya devosional yang agung di sepanjang masa. Saya juga percaya ada banyak manfaat yang bisa didapatkan dari pembukaan ringkasan teologi Reformed karya Cornelius Van Til, "The Defense of the Faith".(3)
Sebelum saya sampai pada hal-hal doktrinal yang substansif, izinkan saya untuk mengajukan pertanyaan: "Mengapa kita harus berpegang pada pengakuan apa pun, selain Alkitab?" Ini merupakan pertanyaan yang baik. Di dalam hati, saya berharap tidak perlu ada kredo atau ada denominasi-denominasi yang berpegang pada kredo itu. Denominasi- denominasi pada tahap tertentu, selalu akibat dari dosa perpecahan.(4) Saya berharap ketika seseorang bertanya tentang afiliasi religius saya, dengan sederhana saya dapat berkata, "Kristen." Dan ketika seseorang menanyakan keyakinan agama saya, saya dapat dengan sederhana berkata, "Alkitab."
Sayangnya, jawaban-jawaban sederhana seperti itu tidak cukup lagi. Bermacam-macam orang mengaku Kristen pada hari ini, bahkan mereka yang percaya Alkitab, namun sebenarnya jauh dari kerajaan Kristus. Di antaranya kaum liberal, penganut bidat, dan penganut sinkretis zaman baru. Ketika kita mengunjungi tetangga kita dan mengajaknya ke gereja, dia berhak untuk mengetahui apa yang kita percayai. Jika Saudara mengatakan bahwa Saudara adalah seorang Kristen dan percaya Alkitab, dia berhak untuk bertanya lebih lanjut, "Menurut Saudara, (dan gereja Saudara) apa yang mereka ajarkan tentang Alkitab?" Itu merupakan pertanyaan di mana kredo dan pengakuan iman dirancang untuk menjawabnya. Sebuah kredo hanyalah suatu ringkasan kepercayaan dari seseorang atau dari sebuah gereja terhadap apa yang diajarkan Alkitab. Dan tentu saja, tidak ada yang keberatan untuk menulis ringkasan seperti itu bagi kenyamanan anggota-anggota gereja dan orang-orang yang membutuhkannya.
Pengakuan iman bukan Kitab Suci, dan mereka tidak seharusnya diperlakukan sebagai normatif yang tanpa salah dan tertinggi. Tentu saja, saya percaya bahwa sangat penting bagi sebuah persekutuan gereja dimungkinkan untuk merevisi pengakuan iman, dan untuk tujuan tersebut, dimungkinkan juga bagi para jemaat dan para pejabat gereja untuk tidak sepaham dengan pengakuan iman tersebut sampai batas-batas tertentu. Kalau tidak, itu berarti pengakuan iman secara praktis dapat dikatakan, otoritasnya diangkat pada posisi setara dengan Kitab Suci. Pandangan "ketat" yang menyatakan bahwa para pendeta tidak pernah diizinkan untuk mengajar sesuatu yang bertentangan dengan rincian yang ada di dalam kredo harus dilihat sebagai cara untuk melindungi ortodoksi dari gereja itu. Namun, menurut pandangan saya, pandangan semacam itu sebenarnya menentang ortodoksi, yaitu menentang otoritas Alkitab dan kecukupan Alkitab. Dalam pandangan semacam itu, maka Kitab Suci tidak diberi kebebasan untuk mereformasi gereja sesuai dengan kehendak Allah.
Namun kredo-kredo itu sendiri sebenarnya sah, bukan hanya bagi gereja- gereja dan individu-individu, melainkan juga bagi seminari-seminari. Seminari-seminari perlu juga untuk dapat memberitahukan kepada para pendukung, para mahasiswa, dan para calon mahasiswa tentang doktrin macam apa yang diajarkan dalam kurikulum seminari.
Iman Reformed merupakan penemuan yang indah bagi banyak orang Kristen. Saya mendengar banyak orang menyaksikan bahwa pada saat mereka mulai mempelajari teologi Reformed, mereka melihat untuk pertama kali bahwa Alkitab benar-benar dapat dipahami. Dalam bentuk teologi yang lain, ada banyak eksegesis yang artifisial: pemilahan ayat-ayat yang tidak bisa dipercaya, merasionalisasi "bagian-bagian yang sukar", memasukkan skema di luar Kitab Suci atas, teks Alkitab. Teologi Reformed memperlakukan Kitab Suci secara natural, sebagaimana para penulis (manusia dan Allah) maksudkan dengan jelas dalam ayat itu. Tentu saja ada kesulitan-kesulitan di dalam sistem Reformed sebagaimana yang ada pada lainnya. Tetapi banyak orang, pada saat mereka mulai membaca Alkitab di bawah pengajaran Reformed, mengalami peningkatan yang besar dalam pemahaman dan keyakinan. Firman Tuhan berbicara pada mereka dalam kuasa yang lebih besar dan memberikan mereka suatu motivasi yang lebih besar pada kekudusan.
Seminari Westminster tidak menuntut mahasiswa mereka untuk memiliki keyakinan Reformed sewaktu mereka mendaftar atau sewaktu mereka lulus. Jadi, mereka harus memutuskan sendiri. Tetapi dari pengalaman saya, terlihat bahwa para mahasiswa Westminster dari latar belakang non- Reformed yang terbuka pada pendekatan Reformed, pada umumnya mereka akhirnya memeluk pandangan itu. Sepanjang 35 tahun saya bergabung dengan Westminster, saya dapat menghitung dengan jari jumlah mahasiswa yang sepengetahuan saya telah lulus dengan berpegang pada posisi Arminian. Hal itu bukan disebabkan karena sekolah menekan para mahasiwa untuk menyetujui posisi doktrinal dari sekolah. Kebanyakan dari para dosen berusaha untuk menghindari melakukan hal itu. Para dosen berusaha untuk memberikan kepada mahasiswa kemungkinan sebesar mungkin untuk mengekspos diri mereka pada teologi Reformed dan untuk membandingkannya dengan teologi non-Reformed. Pada waktu mereka selesai mempelajarinya, saya percaya mereka akan bersukacita sebagaimana halnya dengan kami menerima iman Reformed.
Apakah iman Reformed itu? Berikut ini argumen saya, bahwa: (1) iman Reformed adalah evangelikal; (2) iman Reformed adalah predestinarian; dan (3) iman Reformed mengajarkan kovenan ketuhanan Yesus Kristus secara komprehensif.
IMAN REFORMED ADALAH EVANGELIKAL
Sering kali, sulit bagi orang Kristen Protestan yang percaya pada Alkitab untuk mengetahui mereka harus menyebut diri mereka apa. Kata "Kristen" itu sendiri dan pernyataan "orang Kristen yang percaya Alkitab", bisa juga kabur, bahkan menyesatkan (lihat pembahasan sebelumnya). "Ortodoksi" memberikan kesan tentang para imam yang berjanggut. "Konservatif" berbunyi seperti suatu posisi politikus atau seorang yang temperamental dibanding dengan suatu keyakinan religius. "Fundamentalis" pada hari ini memiliki konotasi yang tidak menyenangkan, yaitu dianggap sebagai antiintelektualisme, meskipun pada masa lampau fundamentalis diaplikasikan pada sarjana-sarjana Kristen yang sangat agung.
Saya pikir istilah yang paling baik untuk menjelaskan orang Kristen Protestan yang percaya pada Alkitab adalah istilah "evangelikal", meskipun istilah itu telah menjadi rancu sepanjang sejarah. Istilah itu digunakan oleh para reformator Lutheran untuk mengindikasikan karakter dari gerakan itu, dan sampai sekarang di benua Eropa, kata "evangelikal" kurang lebih bersinonim dengan "Lutheran". Namun, di dunia yang berbahasa Inggris, kebanyakan penggunaan istilah "evangelikal" dikaitkan dengan kebangunan rohani dari "kebangkitan evangelikal" di abad delapan belas di bawah pengkhotbah John Wesley, George Whitefield, dan yang lainnya. Teologi Wesley adalah Arminian, sedangkan teologi Whitefield adalah Calvinis; jadi gerakan evangelikal itu sendiri memiliki unsur-unsur Arminian dan Calvinistis. Banyak denominasi-denominasi di dunia yang berbahasa Inggris sangat dipengaruhi oleh gerakan ini.
Pada abad kesembilan belas, banyak denominasi yang tadinya dipengaruhi oleh gerakan evangelikal telah menjadi liberal. Bukan merupakan hal yang aneh untuk mendengar orang liberal seperti Charles Brigg menyebut dirinya sebagai "evangelikal"; "evangelikal liberal" pada waktu itu tidak dianggap kontradiksi. Orang masih mendengar istilah itu dalam referensi pada istilah teologis Inggris, meskipun penggunaannya tidak konsisten pada poin itu. Tetapi di Amerika, istilah itu sejak Perang Dunia II telah secara umum dibatasi secara teologi pada posisi konservatif. Setelah perang itu, sejumlah orang Kristen konservatif tiba pada konklusi bahwa "fundamentalisme" merupakan suatu konsep yang negatif dan mereka mengadopsi istilah "Evangelikal" sebagai suatu deskripsi yang menjelaskan dirinya sendiri, kebalikan dari penggunaan pada abad kedelapan belas. Di antara mereka adalah Carl F. H. Henry, Harold John Ockenga, dan J. Howard Pew penganut teologi Calvinistis; yang lainnya bukan penganut teologi Calvinistis. Jadi, "Evangelikal" menjadi sebuah payung yang menaungi orang-orang Kristen Reformed dan non-Reformed, yang menganut pandangan yang tinggi terhadap Kitab Suci dan penganut dari "iman yang fundamental".
Tidak semua orang Reformed telah bersedia untuk menerima sebutan "Evangelikal". Di satu sisi, orang Reformed kadang-kadang ada yang tidak menyetujui kebangunan rohani, meskipun sebagian pengkhotbah kebangunan rohani seperti Whitefield adalah Reformed. Jadi, sebagian orang Reformed telah enggan untuk menerima suatu sebutan yang muncul dalam konteks kebangunan rohani. Di sisi lain, karena banyak orang Reformed tidak mau bergabung dengan Arminian yang memiliki sebutan yang sama, karena kepercayaan bahwa ada perbedaan yang besar secara teologis. Jadi, bagi sebagian Calvinis, termasuk Cornelius Van Til,(5) "Evangelikal" berarti "Protestan yang non-Reformed".
Saya menolak penggunaan ini, terlepas dari pendapat yang diberikan oleh mentor saya, Van Til. Penggunaan yang diberikan oleh Van Til tidak historis, karena secara historis kata "Evangelikal" mencakup Calvinis. Lebih penting lagi, bagi saya kelihatannya kita memang membutuhkan istilah untuk menyatukan orang-orang Protestan yang percaya Alkitab, dan sebutan yang cocok untuk tujuan itu hanyalah "Evangelikal".(6)
Menurut pandangan saya, kaum Reformed dan kaum Evangelikal disatukan atas dasar banyak poin doktrinal yang signifikan, bisa diargumentasikan bahwa keduanya disatukan atas dasar yang paling penting. Jadi, saya tetap menyatakan bahwa iman Reformed adalah Evangelikal.
Apakah kepercayaan utama dari teologi Evangelikal? Seorang Evangelikal, berdasarkan definisi saya, adalah seseorang yang mengakui teologi Protestan Historis. Hal itu mencakup kepercayaan-kepercayaan berikut ini:
1. Allah adalah satu Pribadi, yang maha bijak, adil, baik, benar dan berkuasa, realitas terakhir, berhak disembah secara eksklusif, dan ditaati tanpa perlu dipertanyakan, yang telah menciptakan dunia ini dari yang tidak ada menjadi ada.
2. Manusia, diciptakan menurut gambar Allah, berdasarkan kehendaknya tidak menaati perintah Allah, dan karena itu layak mendapatkan upah maut. Sejak saat itu, semua umat manusia, kecuali Yesus Kristus, telah berdosa terhadap Allah.
3. Yesus Kristus, Putra Allah yang kekal, menjadi manusia. Ia (secara harfiah, sesungguhnya) lahir dari seorang dara. Ia melakukan mukjizat-mukjizat. Ia menggenapi nubuat. Ia menderita dan mati bagi dosa kita, menanggung kesalahan dan hukum dari dosa kita. Ia dibangkitkan secara fisik dari kematian. Ia akan datang kembali (secara harfiah, secara fisik) untuk mengumpulkan umat-Nya dan untuk menghakimi dunia.
4. Keselamatan dari dosa datang bagi kita bukan atas dasar perbuatan baik kita, melainkan melalui penerimaan karunia yang cuma-cuma dari Allah melalui iman. Iman yang menyelamatkan menerima pengorbanan Kristus sebagai pengorbanan kita, sebagai satu-satunya dasar dari persekutuan kita dengan Allah. Iman yang menyelamatkan semacam itu tanpa disangkali telah memotivasi kita pada ketaatan.
5. Kitab Suci adalah firman Allah yang membuat kita bijak dalam keselamatan.
6. Doa bukan hanya sekadar meditasi atau pengembangan diri, melainkan suatu percakapan yang tulus dengan Pencipta dan Penebus kita. Di dalam doa kita memuji Allah, mengucap syukur, memohon pengampunan, dan membuat permohonan yang membawa perubahan konkret dalam dunia.
Pernyataan-pernyataan ini dapat disebut "hal-hal yang fundamental dari iman". Mereka merepresentasikan pusat dari injil biblikal, dan di atas injil ini, kaum Reformed disatukan dengan semua kaum Evangelikal. Saya terluka pada waktu mendengar kaum Reformed mengatakan bahwa "kami tidak memiliki hal yang sama dengan Arminian." Sebenarnya, kita memiliki injil biblikal yang sama dengan mereka, dan itu hal yang besar. Saya pasti berargumen bahwa teologi Arminian tidak konsisten dengan injil itu. Tetapi saya tidak dapat meragukan bahwa kebanyakan dari mereka percaya injil itu dari hati mereka.
Berdasarkan pemahaman ini, kaum Reformed ini tidak hanya berdiri dengan saudara-saudari Arminian mereka di dalam mengakui kebenaran biblikal, tetapi mereka juga bersama-sama melawan kekorupan yang sama dari iman. Kita berdiri bersama semua kaum Evangelikal melawan humanisme sekuler, bidat, gerakan Zaman Baru, dan tradisi liberal dalam teologi. "Liberal" yang saya maksudkan di sini adalah jenis teologi apa pun yang menyangkali hal-hal "fundamental" yang mana pun. Dalam pengertian ini, saya mencakupkan sebagai yang "liberal" bukan hanya kaum modern pada zaman J. Gresham Macken,(7) termasuk juga tradisi neo-ortodoksi (Barth dan Brunner, kaum "modernis yang baru" menurut Van Til), dan gerakan terkini seperti teologi pembebasan, teologi proses, dan teologi pluralis. Gerakan yang lebih terkini sering dikontraskan dengan liberalisme, tetapi seperti yang saya percaya, kita butuh satu istilah untuk menjelaskan semua orang Protestan yang percaya pada Alkitab, demikian pula saya percaya kita butuh satu istilah untuk menjelaskan orang-orang yang mengaku Kristen, yang menyangkali satu atau lebih dari yang fundamental; dan "liberalisme" merupakan istilah yang terbaik untuk tujuan itu.
Saya akan meringkaskan beberapa rumusan yang biasanya ada dalam tradisi liberal dalam kategori yang diselaraskan dengan pernyataan- pernyataan 1 -- 6 di atas.
1. Allah adalah "melampaui personalitas", "melampaui yang baik dan yang jahat", tidak menuntut ketaatan, menghukum dosa, atau menjawab doa.
2. Dosa bukan merupakan ketidaktaatan pada suatu hukum eksternal bagi manusia, melainkan keterasingan dari yang lain dan dari kemanusiaan yang sejati orang itu.
3. Yesus hanya seorang laki-laki yang dengan berbagai cara dikaitkan dengan Allah. Mukjizat yang harfiah dan kebangkitan adalah tidak mungkin, tetapi mereka adalah lambang dari suatu realitas yang lebih tinggi.
4. Keselamatan bukan berasal dari pengorbanan Kristus yang bersifat substitusi, atau melalui iman kepada Kristus sebagai cara keselamatan yang eksklusif. Semua yang diselamatkan atau "orang yang selamat" adalah mereka yang mengikuti berbagai etika dan program-program politik.
5. Kitab Suci merupakan tulisan manusia, bisa keliru dan cenderung pada kekeliruan, yang dengan cara bagaimana mengomunikasikan berita ilahi.
6. Doa pada dasarnya penghormatan pada diri sendiri.
Sebagaimana yang kita lihat, injil Evangelikal sangat berbeda dengan penyangkalan liberal akan injil itu. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi kita untuk memiliki posisi yang jelas dalam hal ini. Saya secara khusus mendorong mereka yang mulai belajar teologi untuk memerhatikan isu ini secara pribadi. Ini adalah waktu di mana Saudara harus jelas tentang relasi Saudara dengan Allah. Apakah Saudara percaya bahwa Allah yang dinyatakan di Kitab Suci ada? Dan bahwa Ia adalah Tuhan yang agung dari langit dan bumi? Apakah Saudara percaya bahwa Saudara secara pribadi berdosa dan Saudara hanya layak untuk mendapatkan murka-Nya dan hukuman yang kekal? Apakah Saudara percaya berdasarkan perbuatan Saudara sendiri (termasuk di antaranya kehadiran di gereja, pelayanan Kristen, benar secara intelektual) dapat menyelamatkan Saudara, atau hanya di dalam kebenaran yang sempurna dari Kristus?
Apabila Saudara tidak pernah menjawab pertanyaan sejenis ini, saya mendorong Saudara demi Kristus untuk menjawabnya sekarang! Tidak semua orang yang masuk seminari adalah orang percaya dalam pengertian semacam ini. Adalah mudah untuk menipu diri sendiri pada waktu Saudara telah melalui kehidupan Kristen. Semasa Saudara belajar di seminari, kembali ke dasar dengan cara ini makin lama akan makin sulit. Pada saat Saudara menjadi ahli teologi, Saudara bisa menjadi bangga atas pencapaian Saudara, dan karena itu Saudara tidak sabar terhadap siapa pun yang menyatakan bahwa Saudara butuh menjadi seperti anak kecil dan menaruh seluruh kepercayaan Saudara pada hikmat orang lain. "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri." (Efesus 2:8-9)
IMAN REFORMED ADALAH PREDESTINARIAN
Istilah "Reformed" untuk alasan tertentu pada mulanya dikaitkan dengan cabang Reformasi dari Swiss (Zwingli, Bucer, Bullinger, Calvin), dan kemudian menjadi sinonim dengan "Calvinis". Pengajaran yang paling kontroversial dari orang-orang ini adalah doktrin predestinasi mereka. Doktrin ini sering kali dilihat sebagai perbedaan yang utama dari pengajaran Reformed dengan bentuk-bentuk evangelikalisme lainnya. Pada tahun 1618 -- 1619, di sebuah pertemuan sidang sinode Reformed di Dordrecht (atau Dort) di Belanda, dipresentasikan lima "poin" ringkasan dari pengajaran Jacob Arminius ("Arminianisme"). Sebagai oposisi terhadap kelima poin itu, sinode mengadopsi apa yang disebut dengan "lima poin Calvinisme", yang merupakan ringkasan doktrin predestinasi. Poin-poin ini dikenal dengan inisial dari bunga Belanda yang indah, yaitu TULIP: Total Depravity, Unconditional Election, Limited Atonement, Irresistible Grace, Preseverance of the Saints.
Kita tidak boleh melihat kelima poin ini sebagai ringkasan dari sistem doktrin dari Reformed. Di Dort, kelima topik itu dibahas berdasarkan pilihan kaum Arminian, bukan kaum Calvinis. Kelima poin itu sebenarnya merupakan suatu ringkasan dari "apa yang tidak disukai oleh kaum Arminian tentang Calvinisme", bukan merupakan ringkasan dari Calvinisme itu sendiri. Poin-poin itu bukan meringkas Calvinisme, melainkan aspek-aspek kontroversial dari Calvinisme. Saya pikir apabila sidang itu diminta untuk memberikan ringkasan iman Reformed yang sebenarnya, maka mereka akan menyusunnya secara berbeda, yaitu lebih seperti "Pengakuan-pengakuan Belgic dan Westminster".
Poin kontroversial tidak harus merupakan keprihatinan fundamental dari suatu sistem. Sehubungan dengan iman Reformed, sistem doktrinalnya lebih dari lima poin; iman Reformed merupakan pemahaman yang komprehensif dari Kitab Suci, jadi merupakan suatu pandangan komprehensif dari wawasan dunia dan wawasan kehidupan. Namun demikian, sekarang saya akan secara singkat membahas "kelima poin" itu. Meskipun sentralitas "kelima poin" ini bisa berlebihan, namun mereka tentu saja penting dan sering disalah mengerti.
1. Total Depravity
Meskipun orang yang sudah jatuh dalam dosa mampu secara eksternal melakukan perbuatan baik (perbuatan yang baik menurut masyarakat), mereka tidak dapat melakukan apa pun yang sesungguhnya baik, misalnya memerkenankan Allah (Roma 8:8). Allah melihat hati. Berdasarkan sudut pandang-Nya, orang yang sudah jatuh dalam dosa tidak memiliki kebaikan, dalam pikiran, perkataan, atau perbuatan. Oleh karena itu, ia tidak mampu memberikan sumbangsih apa pun pada keselamatannya.
2. Unconditional Election
Oleh karena itu, pada saat Allah memilih manusia untuk diselamatkan, Ia tidak memilih mereka berdasarkan apa pun yang ada pada diri mereka. Ia tidak memilih mereka karena kebaikan mereka sendiri, atau bahkan karena Allah mengetahui sebelumnya bahwa mereka akan percaya, melainkan hanya karena kemurahan-Nya semata-mata, yaitu berdasarkan anugerah (Efesus 2:8-9).
3. Limited Atonement
Poin ini merupakan poin yang paling kontroversial dari kelima poin, karena Alkitab kelihatannya mengajarkan bahwa Kristus mati untuk setiap orang. Lihat contohnya, 2 Korintus 5:15, 1 Timotius 4:10, 1 Yohanes 2:2. Ada dimensi "universal" dari penebusan: (a) penebusan untuk semua bangsa; (b) hal itu suatu penciptaan baru dari seluruh umat manusia; (c) hal itu ditawarkan secara universal; (d) hal itu satu-satunya cara bagi setiap orang untuk diselamatkan dan karena itu satu-satunya keselamatan untuk semua orang; (e) nilainya cukup untuk semua. Namun demikian, Kristus bukan merupakan substitusi untuk dosa-dosa dari setiap orang; kalau demikian halnya, maka setiap orang akan diselamatkan. Oleh karena penebusan Kristus berkuasa dan efektif. Penebusan Kristus bukan hanya sekadar membuat keselamatan menjadi mungkin; melainkan penebusan itu benar-benar menyelamatkan. Pada waktu Kristus "mati untuk" seseorang, orang itu pasti diselamatkan. Salah satu "teks penebusan universal" adalah 2 Korintus 5:15, di mana hal itu dinyatakan dengan jelas. Jadi, Ia mati hanya bagi efektivitas dari penebusan pada "limitasi"nya; mungkin kita harus menyebutnya "penebusan yang efektif" daripada "penebusan terbatas", dan itu akan mengubah singkatan TULIP menjadi TUEIP. Tetapi tentu saja efektivitas mengimplikasikan limitasi, jadi limitasi adalah sebuah aspek yang penting dari doktrin ini.
4. Irresistible Grace
Anugerah bukan seperti satu atau dua permen yang dapat Saudara kembalikan apabila Saudara tidak menghendakinya. Anugerah adalah kemurahan Allah, suatu sikap dari hati Allah sendiri. Kita tidak dapat menghentikan Dia untuk mengasihi kita apabila Ia memilih untuk melakukannya. Demikian pula kita tidak dapat menghentikan Dia dari memberikan kita berkat keselamatan: regenerasi, justifikasi, adopsi, pengudusan, serta glorifikasi. Tujuan-Nya di dalam diri kita akan pasti digenapi (Filipi 1:6, Efesus 1:11).
5. Perseverance of the Saints
Apabila Saudara dilahirbarukan kembali oleh Roh Allah, dibenarkan, diadopsi ke dalam keluarga Allah, maka Saudara tidak dapat kehilangan keselamatan Saudara. Allah akan menjaga Saudara (Yohanes 10:27-30; Roma 8:28-29). Ketekunan tidak berarti bahwa setelah Saudara menerima Kristus, lalu Saudara boleh berdosa sekehendak hati Saudara dan Saudara tetap diselamatkan. Banyak orang menerima Kristus secara munafik dan kemudian menyangkali kehidupan Kristen. Mereka yang murtad, dan tidak kembali menerima Kristus di hati mereka, mereka mati dalam dosa-dosa mereka. Tetapi apabila Saudara mengakui Kristus dari hati, maka Saudara pasti akan bertekun, karena Saudara tidak akan didominasi oleh dosa (Roma 6:14).
Catatan Kaki:
1. Diterjemahkan dan dimuat sesuai dengan izin yang diberikan secara lisan oleh penulis.
2. Dalam tulisan ini, saya menggunakan istilah "Calvinistis" dan "Reformed" dengan arti yang sama.
3. (abridged ed. Philadelphia: Presbyterian and Reformed, 1975) 7-22.
4. Lihat teguran terhadap perpecahan dalam 1 Korintus 1-4. Saya membahas isu ini secara mendalam dalam Evangelical Reunion (Grand Rapids: Baker, 1991).
5. "A Christian Theory of Knowledge" (t.k.: Presbyterian and Reformed, 1969) 194 dan lainnya.
6. Adalah benar bahwa, bahkan di Amerika Serikat, garis pemisah antara kalangan injili dengan yang lainnya telah menjadi kabur. Sebagian telah menyangkali ineransi Kitab Suci secara total, sementara itu mengklaim dirinya Evangelikal. Dalam pandangan saya, hal ini tidak sesuai. Namun demikian, bagi saya istilah "Evangelikal" bukan sama sekali tidak berguna lagi, dan saya tahu tidak ada yang lebih baik untuk maksud saya sekarang ini.
7. Lihat Christianity and Liberalism dari Machen, tetap merupakan tulisan yang terbaik tentang perubahan-perubahan yang fundamental antara kedua cara berpikir itu.
8. INTRODUKSI PADA IMAN REFORMED
Oleh: John M. Frame
(Bagian 2)
9.
10. IMAN REFORMED MENGAJARKAN KOVENAN KETUHANAN ALLAH SECARA KOMPREHENSIF
11. Saya sekarang akan melanjutkan dengan ringkasan yang lebih komprehensif dari sistem doktrin Reformed. Argumentasi yang akan saya berikan adalah sebagai berikut: Allah biblikal adalah "Tuhan kovenan" dan semua karya-Nya dalam penciptaan dan keselamatan adalah sebuah karya berdasarkan pada ketuhanan kovenan-Nya. Oleh karena itu, "Allah adalah Tuhan kovenan" merupakan ringkasan dari berita Alkitab. Iman Reformed juga bisa diringkaskan dengan cara ini: semua unsur esensial dari iman Reformed dapat dilihat sebagai karya dari ketuhanan kovenan Allah. Fakta bahwa "ketuhanan kovenan" merupakan hal yang sentral di Kitab Suci, dan teologi Reformed adalah suatu argumen besar yang berpihak pada teologi Reformed sebagai formulasi pengajaran Kitab Suci yang terbaik.
12. Saudara akan menemukan bahwa "kovenan" itu telah dijelaskan secara berbeda oleh teolog yang berbeda, bahkan di kalangan Reformed. Tetapi bagi saya, hal berikut ini kelihatannya mencakup unsur-unsur esensial dari kovenan yang alkitabiah antara Allah dan manusia. Sebuah "kovenan" adalah sebuah relasi antara "Tuhan" yang berdasarkan kedaulatan-Nya, dengan memanggil sekelompok "umat"(8) menjadi milik- Nya, yaitu umat yang disebut sebagai alat-alat Tuhan atau hamba-hamba Tuhan. Ia memerintah atas mereka dengan kuasa dan hukum-Nya, dan memberikan kepada mereka berkat yang unik (atau dalam kasus tertentu, kutuk yang unik). Supaya kita dapat memahami "kovenan" dengan lebih baik, maka kita harus memahami "ketuhanan" dengan lebih baik.
13. ARTI DARI KETUHANAN
14. Pertama, "Tuhan" merepresentasikan istilah Ibrani "YHWH" yang merupakan misteri (pada umumnya dilafalkan "Yahweh", kadang-kadang ditemukan sebagai "Jehovah" atau "Lord" dalam terjemahan bahasa Inggris). Kata ini dikaitkan dengan kata kerja "to be" seperti dalam "I am" di Keluaran 3:14 (perhatikan kehadiran YHWH di ayat 15). Selain Keluaran 3:12-15, ada beberapa pasal di Kitab Suci yang kelihatannya pada derajat tertentu menjelaskan tentang arti dari nama yang merupakan misteri itu. Lihat Keluaran 6:1-8; 20; 33; 34; Imamat 18-19; Ulangan 6:4, dst.; Yesaya 41:4; 43:10-13; 44:6; 48:12, dst. Di PB, Yesus memakai nama "Kurios", sebuah istilah Yunani yang digunakan untuk menerjemahkan YHWH di dalam PL yang berbahasa Yunani. Pada saat Ia memakai nama itu, Ia mengambil peran yang dimiliki oleh Yahweh di PL sebagai Tuhan, kepala dari kovenan. Di dalam pikiran saya, hal itu merupakan salah satu dari bukti yang paling kuat tentang keilahian Kristus. Oleh karena itu, bagian-bagian tertentu di PB, seperti Yohanes 8:31-59; Roma 10:9; 1 Korintus 12:3; Filipi 2:11, juga sama pentingnya bagi pemahaman kita tentang konsep ketuhanan di Alkitab. Dalam pengajaran saya tentang doktrin Allah, saya menjelaskan tentang hal ini dengan lebih rinci,(9) yaitu memerlihatkan kepada Saudara bagaimana ayat-ayat itu mengajarkan suatu konsep tertentu tentang ketuhanan ilahi. Dalam tulisan ini, saya hanya sekadar menyajikan konklusi-konklusi dari studi saya. Namun demikian, penyelidikan atas ayat-ayat ini akan berguna bagi Saudara untuk melihat bagaimana konsep-konsep berikut ini saling berkaitan satu dengan yang lain.
15. Konklusi saya adalah bahwa ketuhanan di Alkitab meliputi tiga aspek: kontrol, otoritas, dan kehadiran.
16. Pertama, kontrol. Tuhan adalah pribadi yang memiliki kontrol yang total atas dunia ini. Pada waktu Allah menebus Israel dari Mesir, Ia melakukannya dengan tangan yang kuat dan berkuasa. Ia mengontrol semua kekuatan alam untuk mendatangkan kutuk atas Mesir serta mengalahkan kekuatan-kekuatan dari penguasa terbesar yang totaliter pada saat itu. Lihat Keluaran 3:8, 14, 20; 20:2; 33:19; 34:6; Yesaya 41:4; 43:10-13; 44:6; 48:12, dan seterusnya. Saya telah menjelaskan tema biblikal ini dalam kaitan dengan doktrin predestinasi. Seharusnya disebutkan juga, bahwa kontrol Allah bukan hanya berkaitan dengan doktrin keselamatan, melainkan atas seluruh alam dan sejarah. Efesus 1:11 dan Roma 11:36 menyatakan kebenaran ini secara khusus, dan banyak bagian lain di Kitab Suci yang berkaitan dengan kejadian-kejadian yang didasarkan pada pengaturan Allah. Hal itu termasuk penjelasan tentang jatuhnya burung pipit dan jumlah rambut di kepala kita.
17. Dosa dan kejahatan juga bagian dari rencana Allah. Hal itu merupakan misteri, dan kita harus hati-hati dalam pernyataan kita. Namun demikian, Kitab Suci memang mengaitkan keberdosaan manusia dengan tujuan-tujuan Allah. Contohnya, lihat Kejadian 45:7; 50:20; 2 Samuel 24:1, 10 (bdk. lTawarikh 21:1); 1 Raja-raja 22:19-23; Kisah Para Rasul 2:23; 4:27-28; Roma 1:24, 26, 28; 9:11-23.
18. Bagaimana kita dapat merekonsiliasikan fakta-fakta ini dengan kebenaran dan kebaikan Allah? Saya telah membahas "problema kejahatan" ini dengan rinci dalam buku "Apologetics to the Glory of God", halaman 149 -- 190. Saya tidak percaya bahwa kita bisa sepenuhnya memahami alasan-alasan Allah untuk mengaitkan kejahatan ke dalam rencana-Nya. Dengan jelas, Ia melakukannya supaya suatu tujuan yang berada dalam konteks sejarah secara menyeluruh merupakan suatu tujuan yang baik (Kejadian 50:20). Di samping itu, yang terbaik adalah meneladani Ayub yang berdiam diri pada saat berhadapan dengan misteri dari kejahatan (Ayub 40:4-5; 42:1-6). Tentu saja kita tidak mengompromikan kedaulatan Allah dengan menyetujui ide seperti konsep Arminian tentang "kehendak bebas", yaitu tindakan-tindakan manusia yang tidak ditetapkan sebelumnya oleh Allah.(10)
19. Kontrol ilahi tentu saja tidak mengimplikasikan penyebab sekunder, contohnya pilihan-pilihan manusia tidaklah penting. Allah umumnya mencapai tujuan-tujuan-Nya yang agung dengan menggunakan alat-alat yang fana. Tujuan-Nya adalah untuk menyebarkan Injil ke seluruh dunia, bukan melalui pernyataan mukjizat, tetapi melalui pemberitaan dan pengajaran yang dilakukan oleh manusia (Matius 28:19, dst.). Tidak ada keselamatan (paling tidak di kalangan orang dewasa) tanpa iman dan pertobatan manusia (Yohanes 3:16; Kisah Para Rasul 2:38). Mereka, yang berargumen atas dasar kedaulatan Allah, para penginjil sama sekali tidak boleh mengajak orang untuk mengambil "keputusan", tidak memahami keseimbangan biblikal. Kedaulatan Allah tidak mengesampingkan penyebab sekunder; melainkan menguatkan mereka, memberikan mereka signifikasi.
20. Allah dari Kitab Suci bukan jenis yang abstrak, yang berlawanan dengan dunia, sehingga segala sesuatu yang dikaitkan pada-Nya harus disangkali ada pada manusia, demikian pula sebaliknya. Melainkan, Allah adalah pribadi, dan Ia telah menciptakan dunia sesuai dengan rencana-Nya. Beberapa hak prerogatif tidak ada pada makhluk ciptaan, seperti hak Allah yang eksklusif untuk disembah dan hak-Nya untuk melakukan sebagaimana yang dikehendaki-Nya dalam kehidupan manusia. Tetapi kebanyakan peristiwa dalam dunia memiliki penyebab-penyebab ilahi dan makhluk ciptaan; yang satu tidak membatalkan yang lain. Arminian dan hiper-Calvinis melakukan kesalahan dalam hal ini.
21. Kedua, otoritas. Otoritas adalah hak untuk ditaati. Tuhan memiliki hak tertinggi untuk itu. Sewaktu Ia berfirman, firman-Nya harus ditaati. Kovenan selalu mencakup firman, sebagaimana yang akan kita lihat dalam studi kita tentang doktrin firman Allah. Tuhan kovenan berbicara pada umat kovenan-Nya berkaitan dengan nama-Nya yang kudus, berkat-berkat- Nya di masa lampau bagi mereka, tuntutan-tuntutan-Nya atas perilaku mereka, janji-janji-Nya, dan peringatan-peringatan-Nya. Firman yang ditulis dalam sebuah dokumen, dan pelanggaran terhadap firman Tuhan dalam dokumen tertulis itu berarti pelanggaran terhadap kovenan itu sendiri.
22. Sewaktu Allah menemui Musa di Mesir, Ia datang dengan firman yang berotoritas bagi Israel dan Firaun, yaitu suatu firman yang tidak mereka taati atas risiko mereka sendiri. Lihat Keluaran 3:13-18; 20:2, dan seterusnya; Imamat 18:2-5, 30; 19:37; Ulangan 6:4-9; Lukas 6:46, dan seterusnya. Otoritas-Nya mutlak dalam tiga arti: (a) Ia tidak dapat dipertanyakan (Roma 4:14-20; Ibrani 11; Ayub 40:1, dst.; Roma 9:20). (b) Kovenan-Nya melampaui semua kesetiaan pada yang lainnya (Keluaran 20:3; Ulangan 6:4, dst.; Matius 8:19-22; 10:34-38; Filipi 3:8). (c) Otoritas kovenan-Nya meliputi semua area kehidupan manusia (Keluaran -- Ulangan; Roma 14:23; 1 Korintus 10:31; 2 Korintus 10:5; Kolose 3:17, 23).
23. Ketiga, kehadiran. Tuhan ialah pribadi yang mengambil suatu umat menjadi milik-Nya. Ia menjadi Allah mereka, dan mereka menjadi umat- Nya. Jadi, Ia "bersama mereka" (Keluaran 3:12). Kehadiran Tuhan bersama umat-Nya merupakan suatu tema yang indah yang tersebar di Kitab Suci; lihat Kejadian 26:3; 28:15; 31:3; 46:4; Keluaran 3:12; 33:14; Ulangan 31:6, 8, 23; Hakim-hakim 6:16; Yeremia 31:33; Yesaya 7:14; Matius 28:20; Yohanes 17:25; 1 Korintus 3:16, dan seterusnya; Wahyu 21:22.
24. Jadi, Yahweh dekat dengan umat-Nya, tidak seperti ilah-ilah dari bangsa lain (Imamat 10:3; Ulangan 4:7; 30:11-14 [Roma 10:6-8]; Mazmur 148:14; Yeremia 31:33; Yunus 2:7; Efesus 2:17; Kolose 1:27). Ia secara harfiah "mendengar" Israel dalam kemah suci dan bait Allah. Kemudian Ia mendekat di dalam Yesus Kristus dan dalam Roh Kudus. Dan berdasarkan kemahakuasaan-Nya dan kemahatahuan-Nya, Ia tidak pernah jauh dari siapa pun (Kisah Para Rasul 17:27-28). Berdasarkan pemahaman ini, seluruh ciptaan terikat dengan Dia oleh kovenan. Lihat Kline, "Images of the Spirit".
25. Kehadiran Allah berarti suatu berkat, tetapi dapat juga berarti suatu kutukan, pada saat umat itu melanggar kovenan. Lihat Keluaran 3:7-14; 6:1-8; 20:5, 7, 12; Mazmur 135:13, dan seterusnya; Yesaya 26:4-8; Hosea 12:4-9; 13:4, dst.; Maleakhi 3:6; Yohanes 8:31-59.
26. Saya akan merujuk pada tiga kategori ini sebagai "atribut ketuhanan". Mereka tidak terpisahkan; setiap kategori terkait dengan dua kategori lainnya. Kontrol Tuhan dilaksanakan melalui otoritas perkataan-Nya pada ciptaan (Kejadian 1); oleh karena itu "kontrol" melibatkan otoritas. Kontrol itu komprehensif, jadi meliputi kehadiran Allah di seluruh ciptaan. Demikian halnya dengan setiap atribut ketuhanan termasuk dua yang lainnya. Oleh karena itu, setiap atribut hadir, bukan "terpisah" dari ketuhanan Allah, tetapi keseluruhannya, dari satu "perspektif"(11) yang partikular.
27. SENTRALITAS DARI KETUHANAN DI KITAB SUCI
28. "Tuhan" merupakan nama dasar kovenan dari Allah (Keluaran 3:13-15; 6:1-8; Roma 14:9). Ada nama lain dari Allah, tetapi ini merupakan nama yang berarti bahwa Ia adalah kepala dari kovenan dengan umat-Nya. Ini adalah nama, di mana dengan nama itu Ia berharap dikenali oleh umat kovenan-Nya.
29. Hal itu dapat ditemukan dalam pengakuan dasar dari iman umat Allah di Kitab Suci (Ulangan 6:4, dst.; Roma 10:9; 1 Korintus 12:3; Filipi 2:11). Dasar pengakuan dari Kovenan Lama adalah "Tuhan Allah kita adalah Tuhan yang esa". Pengakuan dasar dari Kovenan Baru adalah "Yesus Kristus adalah Tuhan".(12)
30. Semua tindakan Allah yang maha kuasa dalam ciptaan dan sejarah dilakukan "supaya mereka mengetahui bahwa Aku adalah Tuhan" (Keluaran 14:18; l Raja-raja 8:43; Mazmur 9:10; dst.). Berulang kali di Yesaya, Tuhan menyatakan bahwa "Akulah Tuhan, Akulah Dia" (Yesaya 41:4; 43:10- 13). Kata "Aku adalah" mengingatkan pada Keluaran 3:14.
31. SENTRALITAS KETUHANAN KOVENAN DALAM IMAN Reformed
32. Iman Reformed juga menekankan ketuhanan kovenan Allah atas umat-Nya. Konsep kovenan tidak digunakan secara sistematis oleh Calvin, meskipun secara partikular kesinambungan dari ide tentang kontrol, otoritas, dan kehadiran cukup menonjol dalam pikirannya. Merupakan hal yang alamiah bahwa di kalangan penerus Calvin ada perkembangan yang menyeluruh dan aplikasi dari ide kovenan, dan bahwa konsep itu telah menjadi perhatian utama dari para teolog Reformed sampai hari ini.
33. Pertama, kontrol. Jelas sekali teologi Reformed telah menekankan kontrol Allah, yang "melakukan segala sesuatu menurut keputusan kehendak-Nya" (Efesus 1:11). Kita telah membahas penekanan ini dalam pembahasan kita tentang predestinasi dan teologi Reformed juga menekankan kedaulatan Allah dalam penciptaan dan providensia. Bersama Kitab Suci, teologi Reformed juga memertahankan kepentingan dari penyebab sekunder. "Hyper-Calvinist", yang berada di perbatasan fatalisme,(13) kadang-kadang menyangkali kepentingan dari keputusan serta aktivitas makhluk ciptaan; tetapi hal ini tidak merepresentasikan tradisi Reformed yang utama.
34. Kedua, otoritas. Reformed telah selalu menekankan, lebih dari kebanyakan cabang kekristenan lain, bahwa manusia harus tunduk pada hukum Allah. Sebagian orang yang mengaku orang Kristen telah mengatakan bahwa hukum dan anugerah, atau hukum dan kasih, selalu berlawanan, sehingga orang Kristen tidak ada kaitan dengan hukum. Namun, kaum Reformed menyatakan bahwa apabila kita mengasihi Yesus, maka kita akan melakukan perintah-Nya (Yohanes 14:15, 21; 15:10; l Yohanes 2:3, dst.; 3:22, dst.; 5:2, dst.; 2 Yohanes 6; Wahyu 12:17; 14:12). Tentu saja melakukan hukum tidak mendatangkan keselamatan bagi kita. Hal itu tidak membenarkan kita di hadapan Allah. Hanya kebenaran dari Kristus yang melakukan hal itu. Tetapi bagi mereka yang diselamatkan, mereka akan melakukan perintah Allah.
35. Reformed juga menekankan kelanjutan kenormatifan dari hukum PL, khususnya atas orang percaya di PB (Matius 5:17-20). Ada perdebatan di kalangan Reformed atas "teonomi", yang pada dasarnya suatu perdebatan tentang bagaimana hukum PL digunakan dalam kehidupan orang Kristen.(14) "Teonomis" maupun kritik Reformed terhadap teonomi sepakat bahwa hukum PL memiliki suatu pengajaran dan pengaturan yang penting dalam kehidupan orang Kristen; kedua kelompok juga sepakat bahwa sebagian hukum PL tidak lagi mengikat secara harfiah, karena kita sekarang hidup dalam suatu situasi yang berbeda dari zaman bilamana perintah-perintah ini diberikan. Argumen atas nama perintah- perintah ini berasal dari kategori itu. Semua Calvinis percaya bahwa hukum-hukum PL adalah firman Tuhan dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memerbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran, dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. (2 Timotius 3:16-17).
36. Secara khusus dalam area ibadah, Reformed telah menekankan otoritas dan kecukupan firman Allah. Sementara kaum Lutheran dan kaum Roma Katolik berargumentasi bahwa apa pun diizinkan dalam ibadah, kecuali yang dikutuk oleh Kitab Suci. Kaum Reformed memertahankan bahwa semua yang tidak diotorisasi oleh Kitab Suci, tidak diizinkan dalam ibadah. Hal itu dikenal sebagai "prinsip peraturan untuk ibadah". Telah ada perdebatan di kalangan kaum Reformed tentang implikasi konkrit dari prinsip ini. Sebagian orang telah berargumen bahwa hal itu menuntut penggunaan yang eksklusif dari Mazmur dalam ibadah dan melarang penggunaan alat-alat musik, penyanyi solo, atau paduan suara. Sebagian orang yang lain berargumen bahwa hal itu menuntut suatu upacara ibadah yang merujuk pada model ibadah yang digunakan pada abad XVII oleh kaum Puritan. Analisis saya berbeda.(15) Saya tidak diyakinkan oleh penafsiran yang telah digunakan untuk mencapai konklusi yang terbatas ini. Dan selaras dengan prinsip-prinsip dari Reformasi, saya melihat peraturan yang prinsip pada dasarnya sebagai suatu prinsip yang memberikan kepada kita kebebasan dari tradisi manusia, dan mengikat kita hanya pada firman Allah.
37. Hal itu membangkitkan suatu poin yang penting dari natur yang lebih umum. Teologi Reformed bukan hanya suatu teologi tentang ketuhanan Allah, tetapi juga suatu teologi dari kebebasan manusia. Teologi Reformed menolak, tentu saja, konsep Arminian tentang "kehendak bebas" yang sudah dibahas terdahulu. Tetapi mengakui kepentingan dari keputusan makhluk ciptaan, sebagaimana yang telah kita lihat sebelumnya. Dan hal itu juga membebaskan kita dari ikatan tirani manusia, sehingga kita bisa menjadi hamba Allah saja. Untuk pastinya, Allah memang menetapkan otoritas yang sah atas umat manusia, dan Ia memanggil kita untuk menghormati dan menaati otoritas-otoritas itu. Tetapi pada saat otoritas-otoritas itu memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan firman Tuhan, atau pada saat mereka menempatkan ide mereka setara dengan Kitab Suci, kita boleh dan bahkan harus tidak menghormati klaim-klaim mereka. Kita harus lebih menaati Allah dari pada manusia. Oleh karena itu, Saudara dapat melihat bahwa otoritas kovenan Allah bukan merupakan suatu doktrin yang membebani. Hal itu merupakan kemerdekaan yang paling besar.
38. Oleh karena itu, iman Reformed pada esensinya bukan "tradisionalis", meskipun sebagian orang Reformed menurut perkiraan saya telah memiliki penghormatan yang tidak sehat terhadap tradisi. Ada sebuah slogan Reformed, "semper reformanda", "always reforming". Oleh karena itu, "fades reformata semper reformanda est", "the Reformed Faith is always reforming". Ada beberapa divisi di kalangan Reformed, sebagian menekankan reformata (Reformed) dan yang lain yang menekankan reformanda (reforming). Keduanya adalah penting dan keduanya harus tetap dipertahankan keseimbangannya. Iman kita haruslah "Reformed", yaitu dalam kesesuaian dengan prinsip fundamental dari Kitab Suci, sebagaimana yang diringkas dalam pengakuan-pengakuan Reformed. Namun demikian, hal itu harus juga di-"reforming", berusaha untuk membawa pemikiran dan praktik kita lebih seturut dengan Kitab Suci, meskipun proses itu menuntut pengeliminasian beberapa tradisi. Para reformator adalah keduanya: konservatif dalam penganutan mereka pada doktrin Alkitab dan radikal dalam kritik mereka terhadap tradisi gereja. Kita harus demikian pula. Oleh karena itu, berhati-hatilah pada orang yang mengatakan kepada Saudara bahwa Saudara harus beribadah, atau berpikir atau berperilaku sesuai dengan tradisi historis tertentu. Buktikan itu semua berdasarkan firman Allah (l Tesalonika 5:21). Selidiki Kitab Suci setiap hari untuk melihat apakah yang Saudara dengar itu memang benar (Kisah Para Rasul 17:11).
39. Karena waktu terbaiknya iman Reformed telah kritis terhadap tradisi manusia, bahkan di kalangannya sendiri. Iman Reformed memiliki sumber- sumber untuk kontekstualisasi yang efektif. Kontekstualisasi adalah usaha untuk menyajikan kebenaran Kitab Suci dalam istilah yang dipahami oleh budaya yang berbeda dengan yang kita miliki, dan berbeda dengan budaya di mana Kitab Suci ditulis. Khotbah Reformed telah tercatat mengalami kesuksesan sepanjang sejarah dalam pekerjaan kontekstualisasi. Calvinisme telah secara dalam memengaruhi budaya yang sangat berbeda dengan budaya Swiss, mulai dari Belanda, Jerman, Inggris, Hungaria, dan Korea. Calvinisme memiliki pengikut yang cukup besar di Perancis dan Itali sampai kebanyakan mereka telah diusir keluar dengan paksa.
40. Oleh karena itu, sepenuhnya Reformed mengatakan sama halnya dengan saya, di "Doctrine of the Knowledge of God" bahwa teologi merupakan aplikasi dari kebenaran Kitab Suci ke dalam situasi manusia. Perkembangan dalam teologi merupakan kesinambungan aplikasi dari Kitab Suci pada situasi yang baru dan konteks yang muncul. Hal itu bukan sekadar repetisi dari formulasi doktrin yang bekerja dalam generasi pada masa lalu, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian "tradisionalis". Melainkan pekerjaan teologi melibatkan kreativitas kita tanpa mengompromikan otoritas dan kecukupan dari Kitab Suci.
41. Calvinisme telah merupakan semacam teologi yang "progresif". Teologi Reformed biasanya bukan hanya sekadar menyatakan ulang pernyataan Calvin dan pengakuan-pengakuan. Calvinisme terus mengembangkan aplikasi yang baru dari Kitab Suci dan doktrin Reformed. Pada abad ketujuh belas, ada perkembangan yang signifikan dari pemikiran Reformed tentang kovenan Allah.
42. Pada abad kedelapan belas, pemikir Jonathan Edwards mengajukan pengajaran baru tentang dimensi subjektif dari kehidupan Kristen. Pada abad kesembilan belas dan permulaan abad kedua puluh, ada perkembangan yang luar biasa, di bawah Vos dan yang lainnya, tentang "teologi biblika", analisis Kitab Suci sebagai suatu sejarah keselamatan. Pada abad kedua puluh ada apologetika Van Til dan "Structure of Biblical Authority" dari Meredith Kline.
43. Pekerjaan "mereformasi" di bawah otoritas Allah tidak terbatas, juga bagi gereja dan teologi. Calvinis telah sering menekankan "mandat budaya" dari Kejadian 1:28-30, bahwa Allah memerintahkan umat manusia untuk menaklukkan seluruh bumi di dalam nama-Nya. Ini berarti bahwa semua wilayah kehidupan umat manusia harus direformasi oleh firman Allah. Abraham Kuyper, seorang jenius agung dari Belanda yang memberikan kontribusi yang besar pada bidang teologi, filsafat, jurnalisme, pendidikan, dan politik, berargumen bahwa seharusnya ada politik, seni, literatur, demikian juga teologi Kristen yang unik.(16) Firman Allah memerintah di semua area kehidupan (1 Korintus 10:31; 2 Korintus 10:5; Roma 14:23; Kolose 3:17, 23). Jadi, orang Reformed telah menekankan kebutuhan untuk sekolah-sekolah, gerakan-gerakan buruh, bisnis, universitas, filsafat, ilmu pengetahuan, gerakan politik, sistem ekonomi Kristen yang unik.
44. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa teologi Reformed prihatin bukan hanya tentang keselamatan individu, dan kesalehan (lihat di bawah), melainkan juga tentang struktur dari masyarakat. "Kovenan", walau bagaimanapun, berkaitan dengan relasi suatu kelompok dengan Allah, lebih daripada hanya sekadar dengan seorang individu.(17) Dalam kovenan, Allah memilih suatu umat. Kitab suci menjelaskan bahwa Allah memilih seisi rumah, keluarga. Oleh karena itu, Calvinis umumnya percaya pada baptisan anak. Baptisan anak mengatakan bahwa pada saat Allah mengklaim orang tua, Allah mengklaim seluruh isi rumah sebagai milik-Nya (Kisah Para Rasul 11:14; 16:15, 31-34; 18:8; l Korintus 1:11, 16).
45. Memertimbangkan doktrin otoritas ilahi menolong kita untuk melihat dari arah lain(18) relasi antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia. Umat manusia bertanggung jawab karena mereka harus tunduk pada perintah Allah. Oleh karena itu, pengajar-pengajar Reformed tidak mempresentasikan tanggung jawab manusia sebagai suatu konsesi dendam terhadap Arminianisme. Melainkan, mereka menekankan tanggung jawab dan bersukacita di dalamnya.
46. Tanggung jawab manusia adalah doktrin Calvinistis. Hal itu menyatakan struktur yang berarti dari rancangan Allah yang berdaulat dan otoritas normatif dari hukum Allah yang berdaulat.(19)
47. Secara historis, kadang-kadang orang bertanya-tanya mengapa Calvinis yang percaya pada kedaulatan Allah, tidak memiliki sikap pasif dalam hidupnya. Pada faktanya, Calvinis berusaha untuk melayani Tuhan yang telah memanggil kita dengan sebaik mungkin. Hasilnya ada di tangan- Nya, tetapi kita telah memiliki kehormatan untuk melayani Dia dengan tugas yang paling agung, yang melaluinya berarti menaklukkan semua kehidupan pada Kristus.
48. Ketiga, kehadiran. Teologi Reformed pada saat terbaiknya bersifat devosional secara mendalam, yaitu menyadari intimasi kedekatan dengan Allah pada setiap saat dalam hidup kita. Tentu saja, sebagian pemikir Reformed, mendasarkan profesi mereka sendiri sebagai "intelektualis", telah meremehkan semua keprihatinan orang Kristen dengan subjektivitas dan kedalaman manusia. Tetapi, menurut pendapat saya intelektualisme itu tidak merepresentasikan yang terbaik atau mentalitas umum dari kebanyakan kaum Reformed. Calvin memulai institutnya dengan mengatakan bahwa pengetahuan Allah dan pengetahuan tentang diri saling berhubungan, dan "saya tidak tahu yang mana yang lebih dahulu". Ia sadar karena kita diciptakan berdasarkan gambar-Nya, kita tidak dapat mengenal diri sendiri dengan benar, tanpa mengenal Allah pada saat yang sama. Dengan kata lain, Allah ditemukan dalam setiap sudut dari kehidupan manusia, termasuk yang subjektif. Ia juga bersikeras bahwa kebenaran-kebenaran firman Allah ditulis secara mendalam dalam hati, bukan hanya sekadar "di dalam kepala".(20) Emblemnya memerlihatkan sebuah hati di dalam sebuah tangan, diarahkan pada Allah, dengan tulisan, "My heart I give you, promptly and sincerely."
49. Jadi orang Reformed telah berbicara tentang hidup dalam semua kehidupan coram Deo, di hadirat Allah. Pemahaman tentang realitas Allah ini mendorong kesalehan yang kaya, demikian pula ketaatan yang bersemangat dalam semua kehidupan.
50. KONKLUSI
51. Saudara dapat melihat bahwa iman Reformed sangat kaya! Dapat dipahami adanya beberapa perdebatan di kalangan orang Reformed, sebagian telah saya sebutkan dalam tulisan ini. Telah ada juga perbedaan penekanan di antara para teolog Reformed dan gereja-gereja. Sebagian telah lebih terfokus pada "lima poin", "doktrin anugerah". Penekanan ini khususnya menonjol di kalangan Reformed Baptis, tetapi ditemukan dalam kalangan lainnya juga. Yang lain (teonomis) telah terfokus pada otoritas dari hukum Allah. Sedangkan yang lainnya (Kuyperian, Dooyeweerdian) telah menekankan aplikasi dari kebenaran Allah dalam struktur sosial.
52. Wolterstorff dan yang lain mengusulkan suatu cara untuk membedakan beragam mentalitas teologis di kalangan gereja-gereja Reformed (khususnya yang berlatar belakang Belanda). Mereka berbicara tentang "piets, kuyps and docts". "The piets" dipengaruhi oleh pietisme, yang terutama mencari suatu relasi yang personal dengan Kristus. "The docts" yang terutama memerhatikan memertahankan teologi ortodoksi. "The Kuyps" memerhatikan perubahan besar dalam masyarakat.(21)
53. Kelihatannya bagi saya ada ruang dalam gerakan Reformed untuk semua penekanan yang berbeda ini. Tidak ada seorang pun di antara kita yang memertahankan keseimbangan yang sempurna. Situasi yang berbeda menuntut kita untuk memberikan penekanan yang berbeda, seperti halnya pada waktu kita "mengontekstualisasikan" teologi kita untuk membawa firman Allah ke dalam situasi di mana kita berada. Allah juga memberikan karunia yang berbeda pada orang yang berbeda. Tidak semua berkarunia dalam aksi-aksi politik, atau dalam perumusan doktrin- doktrin dengan teliti, atau dalam penginjilan pribadi. Kita semua melakukan apa yang dapat kita lakukan, dan kita melakukan apa yang kelihatannya paling harus dilakukan pada situasi itu. Di dalam batasan iman Reformed sebagaimana digambarkan di sini, kita harus bersyukur atas perbedaan penekanan itu, bukan mengkritik mereka. Perbedaan penekanan saling melengkapi satu dengan yang lainnya.
54. Catatan Kaki:
55. 8. Berbeda dengan Dispensasionalisme, teologi Reformed mengajarkan (sesuai dengan kitab suci, menurut pendapat saya) bahwa hanya ada satu umat Allah, mencakup semua pilihan Allah, menerima berkat-berkat yang sama di dalam Kristus, berkat-berkat yang dijanjikan pada Abraham dan keturunannya.
56. 9. Penjelasan yang lebih komprehensif dibaca dalam buku "Doktrin Pengetahuan tentang Allah" (Doctrine of the Knowledge of God) dari John M. Frame yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh literatur SAAT (catatan terjemahan).
57. 10. Namun demikian, ada konsep-konsep lain tentang kehendak bebas yang sepenuhnya alkitabiah; lihat "Apologetics to the Glory of God".
58. 11. Relasi "perspektival" semacam itu umum di kitab suci.
59. 12. Nanti seharusnya menjadi jelas bahwa Alkitab mengajarkan "Ketuhanan dan Keselamatan", yang sebagaimana diajarkan dalam imam Reformed. Mereka yang diselamatkan, yang mengakui ketuhanan Kristus dari hati. Tentu saja, hal ini tidak berarti bahwa mereka yang mengakui ketuhanan Kristus harus sempurna dari awalnya dalam pengabdian mereka kepada Dia. Aplikasi ketuhanan Yesus dalam kehidupan orang Kristen merupakan suatu proses yang tidak akan selesai sampai kita ke surga.
60. 13. Fatalisme adalah pandangan bahwa "apa yang terjadi, terjadilah", apa pun yang kita lakukan. Kekristenan biblika bukanlah fatalistik, karena ia mengajarkan suatu relasi teratur antara penyebab sekunder dan akibat-akibat yang terjadi. Rencana Allah pasti akan berhasil; tetapi akan terjadi dengan sukses karena Allah akan menyediakan alat fana yang dibutuhkan. Contohnya, bahwa orang pilihan akan diselamatkan terlepas dari pemberitaan Injil.
61. 14. Lihat. Simposium WTS, "Theonomy: a Reformed Critique", diedit oleh W. Robert Godfrey dan Will Barker, khususnya dalam esai saya dalam terbitan itu!
62. 15. Bacalah buku saya "Worship in Spirit and Truth" (Phillipsburg: P & R, 1996).
63. 16. Lihat. "Lectures on Calvinism", sebuah buku yang menggerakkan, menantang, mentransformasi hidup, yang setiap orang Kristen harus membacanya.
64. 17. Meskipun tentu saja ada aspek-aspek individual untuk keselamatan dan kehidupan Kristen, Allah memanggil setiap individu untuk bertobat dan percaya.
65. 18. Kita telah menyebutkan kepentingan keputusan manusia dan tindakan manusia dalam rancangan Allah secara keseluruhan.
66. 19. "Tanggung jawab" Arminian berdasarkan pada kekuatan kehendak manusia untuk melakukan peristiwa-peristiwa yang tidak disebabkan. Tetapi peristiwa yang tidak disebabkan adalah kebetulan, bisa jadi tidak masuk akal, peristiwa yang tidak ada hubungan apa pun dengan struktur rasional yang telah ditetapkan sebelumnya. Melakukan tindakan yang hanya kebetulan sukar, dikatakan sebagai "tanggung jawab". Lebih jauh, tanggung jawab dalam Kitab Suci selalu merupakan tanggung jawab pada Allah, bukan pada diri sendiri. Oleh karena itu, hal itu menyatakan adanya hukuman Allah.
67. 20. Oleh karena itu, Calvin adalah sumber dari kontras antara "kepala/hati" yang sering kali diremehkan oleh "intelektualis" Reformed. Calvin bukan, demikian pula dengan saya, antiintelektualisme. "Hati" di Kitab Suci adalah hati yang berpikir. Tetapi ada semacam pengetahuan intelektual yang diterima secara superfisial, suatu pengetahuan yang sebenarnya bukan aturan dari kehidupan seseorang. Itu bukan pengetahuan yang diajarkan oleh Calvin dan Kitab Suci kepada kita.
68. 21. Dalam terminologi saya, tiga gerakan ini adalah eksistensional, normatif, dan situasional secara respektif.